1
MODUL BIOLOGI SMA
EKOLOGI
Penulis: Yeni Hendriani Penyelia: Drs. Moh. Sohib., M.Sc.
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT JENDERAL PENINGKATAN MUTU PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN PUSAT PENGEMBANGAN PEMBERDAYAAN PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN ALMU PENGETAHUAN ALAM JL. DIPONEGORO 12 TELP (022) 4231191 FAX. 4207922 BANDUNG 40116 2010
2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Istilah ekologi berasal dari dua kata yunani (oikos = rumah atau tempat tinggal dan logos yang berarti suatu pengkajian atau penelitian). Jadi secara harfiah ekologi adalah penelitian tentang organisme di rumah atau lingkungan aslinya. Istilah ekologi pertama kali dikemukakan oleh Reiter pada tahun 1868, tetapi didefinisikan secara lugas oleh Ernest Haeckel pada tahun 1869. Haeckel mendefinisikan ekologi sebagai ilmu pengetahuan tetang hubungan organisme dengan lingkungannya. Sejalan dengan berkembangnya ilmu, definisi ekologi telah berkembang pula seperti terlihat pada tabel 1.
Tabel 1 Perkembangan definisi ekologi Sumber Definisi Odum (1971) Studi tentang struktur dan fungsi alam McNaughton dan Wolf (1973) Studi ilmiah tentang hubungan antara organisme dan lingkngannya. Ricklefs (1979) Studi tentang lingkungan alami, terutama hubungan timbal balik antara organisme dan lingkungan sekitarnya. Colinvaux (1986) Studi tentang hewan dan tumbuhan dalam hubungannya dengan kebiasaan dan habitat mereka. Ehrlich dan Roughgarden (1987) Studi tentang hubungan antara organisme dengan lingkungan fisik dan biologisnya. Stilling (1992) Studi tentang interaksi antar organisme dan antara organisme dengan lingkungannya. Dodson dkk. (1998) Studi tentang hubungan, distribusi, dan kelimpahan organisme atau kelompok organisme di suatu lingkungan. Krebs (2001) Studi ilmiah tentang interaksi organisme yang menentukan distribusi dan kelimpahannya. Begon dkk. (2006) Studi ilmiah tentang interaksi antara organisme dan lingkungannya. Gurevitch dkk. (2006) Studi tentang hubungan antara organisme hidup, interaksi organisme satu dengan lainnya, serta pola dan penyebab distribusi dan kelimpahan organisme.
Penelitian ekologi sering dibedakan ke dalam autekologi dan sinekologi. Autekologi berhubungan dengan penelitian tentang suatu organisme atau spesies secara individual,
3
misalnya penelitian tentang riwayat hidup (life history) dan perilaku organisme sebagai alat adaptasi terhadap lingkungan. Sedangkan sinekologi adalah penelitian tentang hubungan dan interaksi kelompok organisme yang hidup bersama-sama sebagai sebuah unit.
Ekologi modern dewasa ini merupakan ilmu pengetahuan multidisipliner yang didukung oleh berbagai disiplin ilmu seperti genetika, statistik, meteorologi, geologi, ilmu kehutanan, holtikultur, agrikultur dan lain-lain. Disiplin ilmu ini telah sangat membantu kepada pemahaman yang lebih baik tentang berbagai prinsip ekologi. B. Kompetensi Dasar Menganalisis hubungan antara komponen ekosistem, perubahan materi dan energi serta peranan manusia dalam keseimbangan ekosistem. C. Tujuan Meningkatkan pengetahuan dan kepedulian tentang : 1) ekosistem; 2) dinamika dan struktur populasi; 3) rantai makanan dan aliran energi; 4) biosfer dan manusia; 5) suksesi
D. Ruang Lingkup Modul ini membahas mengenai konsep ekosistem; dinamika dan struktur populasi, rantai makanan dan aliran energi, biosfer dan manusia, serta suksesi.
4
BAB II EKOSISTEM
A. Ekosistem dan Aliran Energinya Ekosistem meliputi semua organisme dalam suatu daerah tertentu dan faktor-faktor abiotik yang berinteraksi dengannya, atau suatu komunitas dengan lingkungan fisiknya. (Campbell, 2004). Ekosistem dapat dipahami dan dipelajari dalam berbagai ukuran, asalkan ada komponen pokok (biotik dan abiotik) yang bekerja bersamaan untuk mencapai semacam kemantapan fungsional. Memang kebanyakan ekosistem tidak pernah dapat ditentukan benar batasan-batasannya. Reiners (1986), dalam Stilling (1992), berpendapat bahwa untuk alasan ini dan yang lainnya ekosistem hendaknya paling sedikit merupakan suatu tingkat organisasi ekologi. Ia menyarankan tentang kekurangan suatu sistem yang logis dari prinsip-prinsip yang berhubungan dan suatu pemahaman yang baik serta keluasan fokus yang diterima. Keuntungan yang paling besar dari ekologi ekosistem adalah aliran energi dan siklus nutrien, dimana komunitas dan populasi dapat diperbandingkan satu sama lain dan di dalam tingkatan trofik tertentu.
Untuk menjelaskan tentang pentingnya unit individu dalam skema suatu ekosistem ada tiga faktor yang dapat diukur. Pertama adalah biomassa, standing crop dari suatu organisme. Biomassa sangat penting, namun dalam beberapa kasus mungkin mendorong untuk menarik kesimpulan yang keliru. Faktor yang kedua adalah aliran energi. Komunitas dipengaruhi oleh tranformasi energi yang terjadi. Faktor yang ketiga ekosistem mungkin sangat dibatasi oleh ketersediaan mineral. Dalam kasus ini, terbatasnya aliran nutrien yang melewati suatu ekosistem menjadi faktor yang sangat penting dalam memahami bagaimana kerja suatu sistem.
Setiap ekosistem memiliki suatu struktur trofik dari hubungan makan-dimakan. Tingkatan trofik yang merupakan dasar untuk mendukung yang lainnya dalam suatu ekosistem terdiri dari organisme autotrof atau produsen primer. Sebagian besar produsen primer adalah organisme yang mampu melakukan fotosintesis. Kelompok organisme di atas produsen primer merupakan organisme heterotrof yang secara langsung atau tidak
5
langsung bergantung pada hasil fotosintetik produsen primer. Organisme yang menduduki tingkatan trofik kedua ini adalah konsumen primer. Tingkat trofik berikutnya terdiri dari konsumen sekunder, yaitu organisme karnivora yang memakan herbivora. Selanjutnya karnivora ini dapat dimakan oleh karnivora lain yang merupakan konsumen tersier dan menduduki tingkatan trofik berikutnya.
Gambar 1 : Struktur trofik dan transfer energi
Struktur trofik suatu ekosistem menentukan lintasan aliran energi dan siklus nutrien. Jalur di sepanjang perpindahan makanan dari tingkat trofik satu ke tingkat trofik yang lain dan yang dimulai dari produsen primer, dikenal sebagai rantai makanan. Panjang rantai makanan dibatasi oleh jumlah energi yang dipindahkan dari satu tingkat ke tingkat berikutnya.
B. Daya Dukung Ekosistem (Carrying Capacity)
Kehidupan manusia tergantung pada ekosistem yang sehat, dimana sumber daya untuk kehidupan tersedia secara berkelanjutan dan ekosistem dapat menyerap limbah yang
6
dihasilkan manusia. Laju pertumbuhan penduduk dan pola konsumsi yang cenderung meningkat akan menyebabkan cekaman terhadap ekosistem. Degradasi lingkungan, menurunnya keanekaragaman hayati, berkurangnya kandungan air tanah, dan menurun atau hilangnya kesuburan tanah adalah beberapa tanda yang menunjukkan bahwa ekosistem mengalami cekaman. Ancaman terhadap ekosistem karena over eksploitasi dan pemborosan sumber daya menyebabkan lebih banyaknya limbah yang dihasilkan, sehingga resiliensi atau daya lenting ekosistem (kemampuan ekosistem untuk menyerap goncangan dan gangguan) akan berkurang atau terganggu. Ini menyiratkan ada ambang batas di mana tingkat cekaman akan mendorong ke arah gangguan sistem tersebut. Satu konsep yang digunakan untuk memahami ambang batas ini adalah konsep daya-dukung ekosistem. Konsep ini berasumsi bahwa ada suatu batasan jumlah individu yang dapat didukung suatu ekosistem tanpa menurunkan derajat lingkungan alami, sosial, ekonomi dan sistem budaya, dalam suatu ukuran tidak langsung dari tingkat cekaman maksimum dimana ekosistem masih dapat memeliharanya (Barbier, Burgess dan Folke 1994). Sejalan dengan pendapat tersebut Campbell (2004), mendefinisikan daya dukung (carrying capacity) sebagai ukuran populasi maksimum yang dapat didukung oleh suatu lingkungan tertentu tanpa ada penambahan atau penurunan ukuran populasi selama periode waktu yang relatif lama. Sementara Stiling (1992) mendefinisikan daya dukung sebagai jumlah hewan atau tumbuhan (atau industri) yang dapat didukung oleh sumber daya yang tersedia, atau banyaknya individu yang dapat didukung sumber daya di suatu habitat. Daya dukung biasa diberi simbol K, merupakan ciri lingkungan yang bervariasi terhadap waktu dan ruang dengan kelimpahan sumberdaya yang terbatas (Gambar 2 )
7
Gambar 2 : Model Pertumbuhan Populasi
Keterangan: Garis A, menunjukkan model pertumbuhan populasi eksponensial Garis B, menunjukkan model pertumbuhan populasi logistik K, daya tampung habitat untuk populasi, kepadatan populasi tergantung pada petumbuhan logistik (ketersediaan makanan), di mana K adalah asimtot bagian atas atau nilai maksimal N, dengan laju pertumbuhan populasi seimbang. Model pertumbuhan populasi ini mengasumsikan bahwa pertumbuhan populasi akan lambat ketika mendekati daya tampung lingkungan dengan persamaan sebagai berikut:
dN/dt = r N (K-N)/K
r, adalah laju pertumbuhan populasi, sedangkan N adalah ukuran populasi. Persamaan ini dikenal sebagai persamaan Verhulst-Pearl, yang merupakan dasar dari banyak teori ekologi dan merupakan dasar untuk pertumbuhan populasi yang ideal (Barbour dkk. 1999).
Secara alami, jumlah hewan atau tumbuhan yang ada di suatu lingkungan pada umumnya di bawah daya-dukung. Jumlah ini tergantung pada fluktuasi di dalam
K
A
B
Jumlah organisme
8
lingkungan, seperti tahun kering dan tahun basah. Jika daya-dukung terlewati, maka ekosistem itu akan rusak, dan kadang-kadang tidak terpulihkan. Sering kita tidak memperhatikan pemahaman tentang daya-dukung, sehingga banyak aktivitas manusia yang bertentangan dengan konsep tersebut. Padahal salah satu bagian dari konsep kebugaran survival (survival fitness) adalah memiliki suatu mekanisme untuk hidup di dalam daya dukung lingkungan (Viau, 2004).
Menurut Barbour dkk. (1999), untuk menghitung daya dukung mungkin lebih baik menggunakan penghitungan biomassa dari pada jumlah total populasi. Hirarki ukuran dapat mendorong secara kuat perbedaan antara individu-individu yang lebih besar dengan individu yang lebih kecil dalam suatu populasi (Nagashima dan Terashima 1995, Weiner 1995).
Beberapa ahli ekologi menggambarkan carrying capacity sebagai titik di mana angka kelahiran sama dengan angka kematian. Definisi lain adalah rata-rata ukuran suatu populasi dalam keadaan stabil (tidak terus meningkat maupun menurun), sedangkan ahli ilmu lingkungan hidup lainnya menggambarkan daya dukung dalam kaitannya dengan hukum minimum Liebig’S yang menyatakan bahwa, di bawah kondisi lingkungan yang stabil, ukuran populasi suatu spesies dibatasi oleh sumber daya yang diperlukan dalam jumlah yang paling sedikit (Cohen 1996).
Caughley (1976, dalam Krebs, 1985), mengemukakan adanya perbedaan pemahaman konsep daya dukung lingkungan antara ahli ekologi dengan ahli ekonomi. Daya dukung ekologi adalah kepadatan maksimum populasi hewan yang dapat hidup berkelanjutan tanpa adanya pemanenan serta tanpa mempengaruhi kecenderungan vegetasi. Adapun daya dukung ekonomi adalah kepadatan populasi hewan dengan pemanenan maksimal yang berkelanjutan dan biasanya dibawah daya dukung ekologi.
Metode pengelolaan untuk memelihara daya-dukung suatu habitat kadang berbenturan dengan teori etika. Etika Judeo-Christian adalah penganut kemutlakan, misalnya “tidak boleh membunuh". Padahal dalam konsep daya dukung, hal ini tergantung pada keadaan.
9
Jika ukuran kumpulan spesies tersebut kurang dari daya-dukung kita mungkin dengan tegas setuju pada aturan ini, tetapi jika populasi telah tumbuh di luar daya-dukung, jika perlu kita dapat membunuh binatang tersebut sampai jumlahnya ada dalam tingkat yang aman (Hardin, 1977). Menurut Garrett Hardin (1991), daya-dukung adalah dasar utama untuk akuntansi demografis." Pada sisi lain, perencana dan ahli ekonomi konvensional biasanya mengabaikan konsep ini ketika berlaku untuk manusia. Visi mereka bahwa ekonomi adalah satu di mana " faktor-faktor produksi yang dapat digantikan tidak terbatas untuk satu sama lain" dan di mana " penggunaan sumber daya manapun dengan sungguh menjamin suatu peningkatan dalam keluaran" (Kirchner dkk. 1985). Daly ( 1986) mengamati, bahwa visi ini mengasumsikan suatu dunia " di mana daya-dukung dengan tidak terbatas dapat diperluas" ( dan oleh karena itu tidak relevan). Dengan jelas ada divisi besar di atas nilai konsep daya-dukung dalam debat.yang berkelanjutan
Sayang sekali, situasi ekonomi tidak berhubungan secara langsung dengan daya dukung lingkungan. Untuk satu hal, daya dukung ekologi tidak sama dengan daya dukung ekonomi, kepadatan hewan yang masih diijinkan untuk pemanenan maksimal yang berkelanjutan, dan laporan selanjutnya menunjukkan bahwa daya dukung ekonomi tidak perlu berbeda antara ekosistem liar dengan ekosistem domestik (Walker, 1976 dalam Stiling 1992).
Dengan adanya interaksi antara faktor ekologis, ekonomi, dan sosial, maka gangguan pada ekosistem pada akhirnya akan mempunyai konsekwensi sosial dan ekonomi. Selanjutnya perubahan pokok di dalam subsistem sosial dan ekonomi ini akan mendorong ke arah perubahan di dalam ekosistem tersebut. Ada suatu bayaran yang kita harus berhati-hati dalam pendekatan konservatif dan intervensi manusia di lingkungan alami, di mana mungkin ada konsekwensi dan ancaman serius atau kerusakan yang tidak dapat diubah (irreversible) pada proses dan sistem alami (seperti dicatat oleh Myers 1993 dalam Barbier, Burgess dan Folke 1994).
10
C. Fungsi dan Jasa Ekosistem Ekosistem menyediakan berbagai macam jasa yang bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan manusia (Pagiola dkk., 2004). Oleh karena itu kesejahteraan manusia sangat tergantung kepada ekosistem dan manfaat yang dihasilkannya. Susunan jasa ini dihasilkan dari interaksi komplek siklus-siklus alami yang saling mempengaruhi dan bersumber dari aliran energi matahari (Daily dkk., 1997).
1. Fungsi Ekosistem Fungsi ekosistem adalah proses-proses fisika, kimia, dan biologi atau atribut yang berperan untuk self-maintenance dari suatu ekosistem (King dan Mazzota, 2004). Sedangkan menurut de Groot (2007), fungsi ekosistem adalah kapasitas proses-proses alami dan komponen-komponennya untuk menyediakan barang dan jasa yang memuaskan kebutuhan manusia, secara langsung atau tidak langsung. Fungsi ekosistem mengacu pada berbagai sistem biologi atau proses ekosistem. Proses ekosistem ini dikendalikan oleh keaneka ragaman dan identitas spesies tumbuhan, hewan, dan mikroba yang hidup di suatu komunitas (Naeem dkk., 1999). Barang-barang yang dihasilkan ekosistem (seperti makanan) dan jasa (seperti penguraian limbah) merepresentasikan manfaat yang dihasilkan secara langsung atau tidak langsung dari fungsi ekosistem untuk kesejahteraan manusia (Costanza dkk., 1997). Fungsi ekosistem adalah satu topik sentral dalam penelitian valuasi lingkungan. Estimasi nilai fungsi ekosistem dilakukan melalui jasa ekosistem (ecosystem services) yang mereka sediakan (Barkmann dkk., 2008). Fungsi ekosistem dikelompokkan ke dalam empat kategori utama (De Groot dkk., 2002) sebagai berikut.
1.1 Fungsi Regulasi Fungsi ini berhubungan dengan kapasitas ekosistem alami dan semi alami untuk mengatur proses ekologis penting yang mendukung sistem kehidupan melalui siklus biogeokimia dan proses-proses biosfir lainnya (De Groot, 2007b). Selain untuk pemeliharaan kesehatan ekosistem itu sendiri, fungsi regulasi menyediakan banyak jasa yang secara langsung dan tidak langsung bermanfaat untuk manusia seperti jasa pembersihan udara, air, tanah, dan jasa pengendalian hama.
11
1.2 Fungsi Habitat Ekosistem alami menyediakan tempat perlindungan dan habitat untuk tanaman dan binatang liar, dengan demikian berperan untuk konservasi in situ keanekaragaman biologi dan genetik serta proses evolusioner (De Groot, 2002). Fungsi habitat dari ekosistem penting untuk memelihara proses alami yang mencakup refugia dan fungsi pengasuhan. Fungsi refugia merefleksikan nilai yang dimiliki bentang alam dalam menyediakan habitat untuk flora dan fauna yang terancam. Fungsi pengasuhan menunjukkan bahwa beberapa unit bentang alam menyediakan satu lokasi yang tepat sekali untuk reproduksi dan dengan demikian mempunyai dampak pengaturan terhadap pemeliharaan populasi di tempat lain (De Groot, 2007b). Fungsi regulasi dan habitat adalah fungsi yang penting dalam pemeliharaan proses-proses dan komponen alami, oleh karena itu syarat dalam pemeliharaan ekosistem adalah terpeliharanya fungsi regulasi dan habitat (De Groot, 2007a).
1.3. Fungsi produksi Fungsi produksi meliputi fungsi yang mensuplai jasa fisik dalam kaitannya dengan sumber daya atau ruang (De Groot, 2007). Fungsi ini diawali oleh proses fotosintesis dan pengambilan nutrien oleh organisme autotrop yang mengkonversi energi, karbon dioksida, air dan nutrien menjadi berbagai macam struktur karbohidrat yang digunakan oleh produsen kedua untuk menciptakan berbagai biomassa hidup (De Groot, 2002). Keanekaragaman dalam struktur karbohidrat ini, menyediakan banyak barang-barang ekosistem untuk konsumsi manusia, mulai dari makanan dan bahan-bahan mentah sampai sumber daya energi dan materi genetik.
1. 4. Fungsi Informasi Fungsi kultural dan kenyamanan berhubungan dengan manfaat yang diberikan ekosistem kepada manusia melalui rekreasi, pengembangan kognitif, relaksasi, dan refleksi spiritual (De Groot, 2007). Hal ini dapat berupa kunjungan langsung ke suatu area, atau secara tidak langsung dengan cara menikmati suatu area melalui film tentang lingkungan alami, atau memperoleh kepuasan melalui bacaan bahwa satu bentang alam berisi
12
keanekaragaman hayati penting. Fungsi ini sering juga disebut fungsi informasi (De Groot, 2002).
Fungsi ekosistem sering heterogen karena faktor-faktor biologi dan fisika yang terdapat dalam ekosistem tersebut. Kita dapat mempengaruhi fungsi ekosistem dengan mengubah pola spatial dari unsur-unsur biologi dan fisika pada suatu ekosistem dan mengatur kombinasi unsur tersebut. Pengaruh variasi posisi disoroti sebagai suatu fenomena yang menghasilkan pola spatial dari fungsi ekosistem. Pengaruh tersebut menunjukkan bahwa variasi serupa dari suatu faktor mungkin menghasilkan akibat yang berbeda dalam keseluruhan situasi ketika variasi ini terjadi dalam posisi spatial yang berbeda (Wei, 2003).
2. Jasa Ekosistem (Ecosystem Services) Jasa ekosistem adalah barang dan jasa yang disediakan oleh ekosistem alami yang bermanfaat untuk manusia (Price, 2007). Makna lainnya adalah kondisi dan proses yang terdapat pada ekosistem alami dan spesies yang membuat mereka dapat mempertahankan diri dan memenuhi kebutuhan hidup manusia (Daily dkk., 1997). Hal ini dapat juga dinyatakan sebagai manfaat yang dihasilkan untuk manusia atau lingkungan alami, yang diakibatkan oleh fungsi ekosistem (Costanza dkk., 1997, MA, 2005). Sementara Kremen (2005), mendefinisikan jasa ekosistem adalah sekumpulan fungsi ekosistem yang berguna bagi manusia. Definisi lain dari jasa ekosistem adalah komponen alam yang secara langsung dinikmati, dikonsumsi, atau digunakan untuk kesejahteraan manusia (Boyd, 2006). Contoh jasa ekosistem adalah pemurnian air, biodiversitas, pengendali banjir, perlindungan angin dan penyediaan makanan (Nunens, 2004). Menurut Carroll (2009), barang dan jasa yang dihasilkan ekosistem memiliki hubungan langsung dengan kesehatan ekonomi lokal dan global.
Banyak dari jasa ekosistem merupakan faktor kritis untuk kemampuan bertahan hidup manusia (misalnya regulasi iklim, pembersihan udara, dan penyerbukan tanaman) sementara yang lainnya meningkatkan kualitas hidup (aestetika) manusia. Dominasi manusia pada biosfer telah mendorong perubahan cepat dalam komposisi, struktur dan
13
fungsi ekosistem (Vitousek dkk. 1997), sehingga dalam banyak kasus kapasitas mereka dalam menyediakan jasa yang diperlukan menjadi berkurang atau terkikis (Daily dkk., 1997). Pemahaman ekologis yang rinci dari sebagian besar jasa ekosistem masih sedikit, sehingga merintangi kemajuan dalam konservasi dan manajemen jasa ekosistem (Kremen, 2005).
Susunan jasa ekosistem dihasilkan oleh interaksi komplek yang saling mempengaruhi dari kekuatan aliran energi matahari dan proses ini berjalan lintas skala ruang waktu (Daily dkk., 1997) lihat gambar 3. Sebagai contoh, proses penguraian limbah melibatkan siklus hidup bakteri seperti halnya siklus unsur-unsur kimia utama misalnya karbon dan nitrogen di planet ini. Proses seperti itu berharga trilyunan dolar setiap tahun. Namun karena sebagian besar dari manfaat itu tidak dihargai di pasar ekonomi, maka perhatian masyarakat terhadap persediaan atau penurunan jasa ekosistem yang dihasilkannya kurang atau bahkan tidak ada. Karena ancaman untuk sistem ini terus meningkat, ada suatu kebutuhan kritis untuk identifikasi dan monitoring dari jasa ekosistem baik secara lokal dan global, serta untuk menyatukan nilai mereka ke dalam proses pengambilan keputusan (Daily dkk., 1997) .
Gambar 3 Interaksi kompleks dalam ekosistem menghasilkan jasa ekosistem
14
Millennium Ecosystem Assessment (MA) (2005), dan Raymond dkk., (2009), mengelompokkan jasa ekosistem menjadi empat kelompok yaitu jasa penyediaan, pengaturan, pendukung dan kultural (Gambar 4). Jasa penyediaan ekosistem meliputi hasil-hasil yang diperoleh dari ekosistem, misalnya makanan, kayu bakar dan serat. Jasa pengaturan misalnya penataan iklim dan kontrol terhadap penyakit serta manfaat non- material misalnya manfaat spiritual atau keindahan. Jasa pendukung merupakan jasa yang diperlukan untuk menghasilkan semua jasa ekosistem lainnya, misalnya jasa pembentukan tanah, siklus nutrien, dan produktivitas primer. Jasa kultural merupakan manfaat non materi dari ekosistem misalnya jasa spiritual dan keagaaman, rekreasi dan ekoturism, seta jasa pendidikan.
Konsep jasa ekosistem telah menjadi model penting untuk menghubungkan fungsi ekosistem kepada kesejahteraan manusia. Pemahaman hubungan ini sangat kritis dalam kontek pengambilan keputusan (Fisher dkk., 2009). Signifikansi konsep ini dibuktikan dalam publikasi Millennium Ecosystem Assessment (MA), suatu pekerjaan monumental yang menyertakan lebih dari 1300 ilmuwan. Salah satu hasil pokok MA adalah penemuan bahwa secara global 15 dari 24 ekosistem diketahui dalam keadaan mengalami kemunduran, dan hal ini bisa jadi mempunyai dampak yang besar dan negatif terhadap masa depan kesejahteraan manusia (MA, 2005).
Penurunan keanekaragaman hayati di seluruh dunia mempengaruhi suplay barang- barang dan jasa ekosistem seperti air, udara bersih, makanan serta lahan subur dan produktif yang mendukung mata pencaharian dan mutu hidup masyarakat (Brooks dan Kennedy, 1994 dalam Daily dkk., 1997). Kemunduran keanekaragaman hayati juga merupakan proses permulaan yang mempengaruhi proses global yang kritis, sebagai contoh hilangnya vegetasi penutup tanah di seluruh dunia adalah faktor utama yang menyokong peningkatan gas CO2 di atmosfir dan berhubungan dengan perubahan iklim (Daily dkk., 1997). Oleh karena itu untuk menjaga fungsi dan jasa ekosistem, perlu dilakukan inventarisisasi ancaman dan tekanan pada ekosistem yaitu meliputi perambahan lahan, perpindahan akses tradisional, invasi spesies yang sangat dominan
15
atau tidak asli, polusi, ketiadaan atau lemahnya manajemen, isolasi habitat dan fragmentasi, serta gangguan perubahan iklim (Treweek, 2005).
Gambar 4. Hubungan antara jasa ekosistem dan komponen-komponen kesejahteraan manusia (Sumber : MA, 2005)
D. Karakteristik Ekosistem Setiap ekosistem adalah unik, walaupun demikian ekosistem memiliki karakteristik dasar yang mencakup iklim, produktivitas, biomasa total, dan jumlah spesies (Dusheck, 2002). Namun menurut Ibrahim (2008), karakteristik ekosistem terdiri dari produktivitas, siklus
16
materi dan aliran energi, serta jumlah varietas dan spesies makhluk hidup. Pendapat lain tentang karakteristik ekosistem menyatakan bahwa karakteristik dasar ekosistem adalah sebagai berikut (Anonim, 2008): 1) Keberlanjutan kehidupan di bumi, merupakan salah satu karakteristik ekosistem, bukan karakteristik organisme atau populasi. 2) Memiliki struktur yang terdiri dari makhluk hidup (komunitas ekologis) dan benda mati. 3) Terdapat proses-proses yang berupa siklus unsur-unsur kimia dan aliran energi 4) Mengalami perubahan (suksesi).
Berdasarkan ketiga pendapat di atas, maka penulis berpendapat bahwa karakteristik ekosistem adalah ciri khas dari suatu ekosistem yang berkaitan dengan struktur dan fungsi ekosistem. Sebagai contoh, hutan hujan tropis mempunyai keanekaragaman spesies dan produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan hutan temperata. Menurut Bradshaw (1992), struktur ekosistem diukur dengan keanekaragaman dan kompleksitas makhluk hidup yang ada, sedangkan fungsi ekosistem, diukur dengan produktivitas biomasa dan siklus nutrien. Pendapat ini berkaitan dengan pendapat Pitchairamu dkk. (2008), yang menyatakan bahwa parameter yang paling penting dari struktur komunitas tumbuhan adalah dominasi spesies, kerapatan individu, kekayaan jenis, dan keanekaragaman jenis. Dengan demikian, jika kita menyatakan bahwa karakteristik ekosistem berkaitan dengan struktur dan fungsi ekosistem, maka pendapat Dusheck, Ibrahim, dan Anonim sudah tercakup dalam struktur dan fungsi ekosistem.
Pengkajian karakteristik ekosistem terkait dengan valuasi dari ekosistem tersebut, karena pada hakekatnya valuasi adalah pemberian nilai ekonomi terhadap barang dan jasa yang dihasilkan ekosistem sesuai dengan klasifikasi jasa ekosistem. Barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu ekosistem dipengaruhi oleh fungsi dari ekosistem tersebut, dan fungsi suatu ekosistem dipengaruhi oleh karakteristik dari ekosistem tersebut. Fisher dkk., (2009), menyatakan bahwa klasifikasi jasa ekosistem harus berbasis pada karakteristik ekosistem yang diminati,
17
Berikut ini akan dikemukakan beberapa karakteristik ekosistem yang penting.
1. Struktur Komunitas Tumbuhan Struktur suatu vegetasi terdiri dari individu-individu yang membentuk tegakan di dalam suatu ruang. Sedangkan komunitas tumbuhan terdiri dari sekelompok tumbuh- tumbuhan yang masing-masing individu mempertahankan sifatnya (Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974). Dalam pengkajian struktur komunitas tumbuhan di suatu habitat, parameter yang paling penting untuk dianalisis adalah dominasi jenis, kerapatan individu, kekayaan jenis, dan keanekaragaman jenis (Pitchairamu dkk., 2008). Dominasi jenis diperoleh dari perhitungan Indeks Nilai Penting (INP), yaitu dengan menjumlahkan kerapatan relatif, kerimbunan relatif, dan frekuensi relatif (Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974). Dominansi merupakan suatu nilai yang menunjukkan peguasaan suatu spesies terhadap komunitas. Kelimpahan dinyatakan dalam jumlah individu dari masing-masing jenis dan kekayaan jenis dinyatakan dalam jumlah jenis di setiap tapak penelitian. Jenis yang paling dominan memiliki nilai penting yang paling tinggi (Krebs, 1985). Sedangkan kekayaan jenis merupakan keanekaragaman jenis yang dinyatakan dalam jumlah jenis per satuan unit area (Barbour dkk., 1999). Keanekaragaman jenis menyatakan suatu ukuran yang menggambarkan variasi jenis tumbuhan dari suatu komunitas yang dipengaruhi oleh jumlah jenis dan kelimpahan relatif dari setiap jenis. Keanekaragaman spesies yang tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas yang tinggi, karena di dalam komunitas itu terjadi interaksi yang komplek antar spesies (Pitchairamu dkk., 2008).
Menurut Kershaw (1973), struktur komunitas tumbuhan terdiri dari 3 komponen, yaitu: 1. Komunitas tumbuhan secara vertikal yang merupakan diagram profil yang melukiskan lapisan pohon, tiang, sapihan, semai dan herba penyusun vegetasi. 2. Sebaran horisontal jenis-jenis penyusun yang menggambarkan letak dari suatu individu terhadap individu lain. 3. Kelimpahan (abudance) setiap jenis dalam suatu komunitas.
18
Sebagai contoh struktur komunitas tumbuhan di hutan tropis terkenal karena pelapisannya. Ini berarti bahwa populasi campuran di dalamnya disusun pada arah vertikal dengan jarak teratur secara kontinyu. Kershaw (1973), menyatakan bahwa stratifikasi hutan tropis dapat dibedakan menjadi 5 lapisan, yaitu : Lapisan A (lapisan pohon-pohon yang tertinggi atau emergent), lapisan B dan C (lapisan pohon-pohon yang berada di bagian tengah atau yang berukuran sedang), lapisan D (lapisan semak dan belukar) dan lapisan E (merupakan lantai hutan). Stratifikasi pohon, perdu, dan herba tersebut merupakan gambaran umum dari struktur komunitas tumbuhan di hutan tropis.
2. Produktivitas Produktivitas adalah kecepatan pembentukan material organik dalam satuan ruang dan waktu. Konsep ini dibedakan atas produktivitas primer dan produktivitas sekunder. Produktivitas primer merupakan kecepatan pembentukan material organik pada tumbuhan sebagai hasil fotosintesis, sedangkan produktivitas sekunder adalah kecepatan pembentukan material organik pada tingkatan konsumen dalam satuan ruang dan waktu (Stiling, 1996). Hasil dari fotosintesis ini kemudian dikonversikan tumbuhan menjadi biomasa (Barbour dkk., 1996). Biomassa mengacu pada bahan organik hidup, yang dinyatakan sebagai massa kering per unit area (ton/ha). Biomassa adalah fungsi langsung dari produktivitas, dan keduanya dibatasi oleh faktor ekologis yang sama, seperti kelembaban, temperatur dan ketersediaan nutrien. Biomasa vegetasi hutan terutama ditentukan oleh biomasa pohon (Brown, 1997). Namun Keeling, dan Phillips (2007), menyatakan bahwa tumbuh-tumbuhan understorey (vegetasi bawah), epifit, dan tumbuhan pemanjat juga menyokong kepada total biomasa hutan. Akumulasi biomasa tanaman dan produktivitas merupakan faktor penentu penting dalam keseimbangan karbon suatu ekosistem
Menurut Whittaker dan Likens (1975), produktivitas primer bersih hutan hujan tropis adalah yang tertinggi dibanding dengan wilayah lain, yaitu mencapai 1000-3500 g/m2/tahun. Produktivitas terendah ditemukan di daerah gurun, yaitu sebesar 10-250 g/m2/tahun (Tabel 2). Produktivitas ekosistem merupakan parameter ekologi yang sangat
19
penting, karena merupakan suatu indeks yang mengintegrasikan pengaruh kumulatif dari banyak proses dan interaksi yang berlangsung simultan di dalam ekosistem. Jika produktivitas pada suatu ekosistem hanya berubah sedikit dalam jangka waktu yang lama maka hal ini menandakan bahwa kondisi lingkungan stabil. Akan tetapi jika terjadi perubahan yang hebat, maka hal ini menunjukkan telah terjadi perubahan lingkungan yang nyata atau terjadi perubahan yang penting dalam interaksi di antara organisme- organisme yang menyusun ekosistem (Jordan, 1985 dalam Wiharto, 2003). Hasil dari banyak studi eksperimental yang dilakukan di Eropa dan Amerika Utara menunjukkan bahwa produktivitas ekosistem meningkat dengan meningkatnya kekayaan spesies (Naeem dkk., 1999). Menurut Whittaker dan Likens (1975), beberapa faktor yang mempengaruhi produktivitas vegetasi di wilayah hutan tropis adalah : (a) suhu; (b) curah hujan; (c) interaksi antara suhu dan curah hujan.; (d) produktivitas serasah; (e) tahapan suksesi komunitas; (f) edafik; (g) herbivora, dan (h) sistem konservasi hara yang sangat ketat.
Tabel 2. Produktivitas Primer Bersih (NPP) berbagai tipe ekosistem
No. Tipe Ekosistem Kisaran Normal NPP (g/m2/tahun) 1. Hutan Hujan Tropis 1000 - 3500 2. Hutan Musim Tropis 1000 - 2500 3. Hutan Iklim Sedang 3.1 Selalu hijau 3.2 Luruh 600 – 2500 600 - 2500 4. Hutan Boreal 400 - 2000 5. Savana 200 - 2000 6. Padang Rumput Iklim Sedang 200 - 1500 7. Tundra dan Alpin 10 - 400 8. Gurun dan Semak Gurun 10 - 250
Sumber: Whittaker dan Likens (1975).
20
3. Stok/Cadangan Karbon Tidak terkendalinya jumlah gas CO2 di atmosfer, bersama-sama dengan gas CFC, metana dan gas-gas rumah kaca lainnya, berpotensi meningkatkan suhu atmosfer bumi yang dapat menimbulkan pemanasan bumi dan perubahan iklim. Menurut IPPC (Intergovermental Panel on Climate Change), emisi CO2 antropogenik total adalah 7,1 Gt (giga ton) karbon/tahun yang terdiri dari 5,5 Gt dari pembakaran bahan bakar fosil dan produksi semen serta 1,6 Gt dari perubahan tata guna lahan. Diketahui bahwa 70% dari gas rumah kaca terdiri dari CO2 (Jallow, dkk., 2007).
Hutan merupakan salah satu alat pengendalian pemanasan bumi, yaitu dengan cara memfiksasi CO2 dan menyimpannya dalam jaringan tumbuhan selama berfotosintesis. Hutan juga mengeluarkan CO2 ke atmosfer selama melakukan respirasi dan dekomposisi materi tumbuhan yang mati (Ryan, 2004). Laju penyerapan karbon terbesar terjadi pada hutan muda dan menurun pada hutan dewasa. Jumlah kandungan karbon di hutan dapat berubah dari waktu ke waktu, yang disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut (Ryan, 2004): a. variasi faktor iklim, misalnya temperatur dan curah hujan; b. perkembangan alam atau dinamika suksesi vegetasi; c. gangguan seperti kebakaran, badai, hama dan serangan penyakit
Kerusakan hutan yang disebabkan aktivitas manusia turut berkontribusi terhadap cadangan karbon. Cadangan karbon di dalam biomassa hutan pada tingkat global berkurang mencapai angka 5,5 persen pada kurun waktu 1990 – 2005 (Anonim, 2008). Secara umum trend cadangan karbon mengikuti kecenderungan luasan areal hutan dan ketersediaan sumberdaya hutan. Cadangan karbon di dunia meningkat di wilayah Eropa dan Amerika Utara dan menurun di wilayah tropika (FAO, 2007). Hutan tropika menyumbang emisi CO2 sebesar 1,6 milyar ton per tahun. Seperti dilansir oleh Stem Review (Koran Tempo, 24 Oktober 2007), bahwa deforestasi di negara-negara berkembang (umumnya wilayah tropika) menyumbang emisi CO2 sekitar 20 persen dari emisi global.
21
Dari hasil inventarisasi gas-gas rumah kaca di Indonesia dengan menggunakan metode IPCC 1996, diketahui bahwa pada tahun 1994 emisi total CO2 adalah 748,607 Gg (Giga gram), CH4 sebanyak 6,409 Gg, N2O sekitar 61 Gg, NOX sebanyak 928 Gg dan CO sebanyak 11,966 Gg. Adapun penyerapan CO2 oleh hutan kurang lebih sebanyak 364,726 Gg, dengan demikian untuk tahun 1994 tingkat emisi CO2 di Indonesia sudah lebih tinggi dari tingkat penyerapannya. Indonesia sudah menjadi net emitter, sekitar 383,881 Gg pada tahun 1994. Hasil perhitungan sebelumnya, pada tahun 1990, Indonesia masih sebagai net sink atau tingkat penyerapan lebih tinggi dari tingkat emisi (Widjaja, 2002 dalam Anonim, 2008).
Hal ini terjadi karena tingginya tingkat kerusakan hutan di Indonesia (sekitar 2 juta hektar hutan setiap tahun, Holmes, 2000 dalam Emerton, 2003). Dengan adanya deforestasi, maka peranan hutan dalam menyerap CO2 akan mengalami penurunan. Di samping itu deforestasi melalui kebakaran hutan juga menyebabkan timbulnya emisi/pelepasan CO2 ke udara. Penelitian di beberapa tempat menunjukkan adanya dampak kebakaran terhadap emisi karbon di udara. Kebakaran tahun 1998 yang didukung Elnino tahun 1997/1998 telah merugikan negara sebesar 10,066 triliun rupiah setelah lahannya terbakar seluas 507.239,5 ha. Kebakaran hutan yang luas yang terjadi tahun 1997 telah melepaskan CO2 ke udara sebesar 0,81 – 2,57 Gt dimana sebagian besar berasal dari lahan gambut (Page, 2002).
Hasil pendugaan emisi yang dilakukan di lahan gambut Taman Nasional Berbak Sumatera menyebutkan bahwa di areal tersebut telah terdapat emisi karbon sebesar 7 juta ton (Murdiarso dkk., 2002). Bahkan, menurut laporan hasil penelitian Wetland International dan Delft Hydraulics pada awal November 2006, Indonesia telah ditempatkan sebagai negara penghasil emisi CO2 terbesar ketiga dunia, setelah Amerika Serikat dan China. Memasukkan unsur hutan dalam deklarasi jumlah emisi CO2 suatu negara adalah satu hal yang tidak lazim, karena kebakaran hutan selama ini dianggap sebagai bencana alam. Terlepas pro-kontra atas validitas penelitian yang dilakukan oleh kedua lembaga tersebut, harus diakui bahwa kebakaran di Indonesia telah
22
menyumbangkan karbon ke udara (Anonim, 2008). Dengan melihat potensi CO2 sebagai penyumbang terbesar dalam proses pemanasan global, maka emisi CO2 harus dikendalikan agar tidak terus meningkat. Tidak heran jika perhatian dunia internasional tentang pengaruh peningkatan konsentrasi gas rumah kaca, diantaranya karbon dioksida, terhadap iklim global menyebabkan difokuskannya kebijakan untuk memperhatikan dinamika karbon di dalam vegetasi terestrial (Ryan, 2004).
Carbon trade (perdagangan karbon) merupakan peluang bagi negara-negara yang masih memiliki kawasan hutan, untuk mendapatkan keuntungan dari kemampuan hutan menyerap emisi karbon yang dihasilkan dari kegiatan industri negara-negara maju. Beberapa negara pemilik hutan, seperti Brasil dan Kosta Rika, sudah menjual kemampuan hutannya itu melalui perdagangan karbon. Hasil yang diperoleh bernilai jutaan dolar AS per tahun, yang digunakan untuk membiayai program pelestarian hutan. Di Indonesia, usaha carbon trade telah dirintis oleh PT Global Eco Rescue dengan menggandeng Kabupaten Malinau Kaltim. Di daerah tersebut hutan yang dijadikan proyek percontohan kegiatan itu seluas 325.000 hektar. Jumlah hutan di kawasan konservasi Indonesia mencapai lebih dari 28 juta hektar dan kalau pasar karbon bisa dijalankan, maka Indonesia akan mendapatkan pemasukan yang cukup besar. Saat ini, pemerintah sedang merancang Peraturan Pemerintah tentang pemanfaatan jasa lingkungan hutan di kawasan konservasi, yaitu mencakup jasa lingkungan air, jasa lingkungan keanekaragaman hayati, jasa lingkungan karbon, dan jasa lingkungan ekowisata. Berikut ini adalah rancangan pemanfaatan jasa lingkungan karbon (perdagangan karbon) melalui aforestasi dan reforestasi dalam kerangka MPB (Manajemen Pembangunan Bersih) (Danny, 2008) : a. Aforestasi, penghutanan pada lahan yang selama 50 tahun atau lebih merupakan lahan bukan hutan, sedang reforestasi penghutanan pada lahan yang per 31 Desember 1989 bukan hutan. b. Lahan MPB luas minimal 0,25 Ha, presentasi tajuk minimal 30 % dan pertumbuhan akhir ketinggian minimal 5 m. c. Aforestasi dan reforestasi dalam kerangka MPB dapat dilakukan di kawasan hutan, hutan adat, tanah negara, dan tanah milik. Persyaratan pasal 5, 6, 7, dan 8.
23
d. Pengembang proyek adalah gabungan antara investor negara Annex I dengan BUMN, BUMD, BUMS, koperasi, dan perorangan. e. Pengembang proyek mengajukan usulan proyek kepada Menteri Kehutanan.
Dari rancangan peraturan tersebut jelas terlihat bahwa usaha perdagangan karbon tidak selalu harus mencakup wilayah hutan yang luas, tetapi juga dapat mencakup luasan hutan yang kecil. Pada proyek skala kecil rata-rata stok karbon akan dihitung berdasarkan dua aturan berikut (Schlamadinger, dkk., 2004). Aturan 1: Pada umumnya stok karbon rata-rata dihitung sebagai rata-rata stok karbon pada satu rotasi ganda. Jika ada dua (atau lebih) rotasi di dalam satu proyek, maka rata- rata harus dihitung di atas semua rotasi dalam perioda proyek. Rotasi yang sebagian berada di luar proyek akhir adalah tidak termasuk. Contoh. Jika jangka waktu proyek adalah 30 tahun, dan perioda rotasi adalah 12 tahun, maka stok karbon rata-rata dihitung pada 24 tahun pertama. Bagian ujung proyek tidak termasuk perioda rotasi sehingga akhir proyek berhubungan dengan akhir dari satu perioda rotasi.
Aturan 2: Kapan saja suatu proyek dimulai, maka rata-rata stok karbon harus dikalkulasi ulang, sebagai contoh, ketika satu angsuran baru suatu proyek 20 tahun dimulai, rata-rata stok karbon harus dikalkulasi ulang untuk tahun sisanya. Waktu rata-rata stok karbon akan ditentukan dan dilaporkan sebagai bagian dari dokumen desain proyek, dan harus menggunakan informasi yang diverifikasi serta berbasis pada asumsi tentang spesies pohon, kondisi iklim, jenis tanah, rejim manajemen, dan lain-lain. Monitoring dilakukan untuk menentukan apakah variabel yang digunakan untuk mengkalkulasi rata-rata stok karbon adalah tepat, atau apakah penyesuaian harus dibuat untuk memprediksi rata-rata stok karbon tersebut (Schlamadinger, dkk., 2004).
E. Gangguan Ekosistem Gangguan adalah peristiwa apapun yang mengganggu ekosistem, komunitas, atau struktur populasi dan mengubah sumber daya, ketersediaan substrat, atau lingkungan fisik (Saveland, 2003). Istilah "kerusakan" digunakan untuk suatu kondisi yang lebih luas mengacu pada perubahan fisik lingkungan yang kurang baik dan mempengaruhi hidup
24
manusia dan kegiatan ekonomi, juga perkembangan makhluk hidup lainnya. Menurut Bishop (1999), kerusakan lingkungan dapat didefinisikan sebagai “hilangnya modal alam”.
Pengaruh gangguan terhadap struktur komunitas adalah menyebabkan perubahan dalam komposisi spesies dan kelimpahan relatif (Fukami, 2001, dan Saveland, 2003). Pengaruh besar dari gangguan dalam dinamika ekosistem adalah terjadinya perubahan dalam jalur suksesi. Sebagai konsekwensinya, dominasi pada suatu lokasi dan beberapa spesies individu dapat berubah dan keanekaragaman berubah. Gangguan juga dapat menyebabkan hilangnya suatu spesies (Saveland, 2003).
Menurut Mclaren (2006), komposisi spesies mungkin memainkan peran penting dalam menentukan fungsi ekosistem karena setiap spesies memiliki ciri-ciri tertentu. Efek dari hilangnya suatu spesies terhadap ekosistem adalah menyebabkan hilangnya efek langsung organisme terhadap fungsi ekosistem dan respon organisme lain terhadap hilangnya spesies tersebut. Efek dan respon ini terjadi melalui banyak mekanisme. Sebagai contoh, spesies bisa secara langsung mempengaruhi nutrien tanah dan kandungan air melalui variasi massa akar. Selain itu, spesies tertentu bisa mengubah komposisi komunitas tumbuhan melalui kemampuan kompetitif yang bervariasi dan pengaruh fasilitasi, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi fungsi ekosistem. Komposisi spesies sering lebih penting dibandingkan dengan jumlah spesies dalam mempengaruhi proses ekosistem. Dengan begitu, pemeliharaan komposisi spesies dalam suatu komunitas, adalah kritis dalam pemeliharaan jasa ekosistem (Saveland, 2003).
Identifikasi ciri kunci yang mempengaruhi fungsi ekosistem tertentu adalah satu tahap penting dalam pemahaman bagaimana keanekaragaman hayati mempengaruhi fungsi ekosistem. Ciri tertentu yang bertanggungjawab untuk mengatur fungsi suatu ekosistem, pengaruhnya akan bervariasi tergantung pada banyak faktor termasuk temperatur, kondisi tanah atau air, curah hujan, ketersediaan nutrien, dan waktu sejak terjadinya gangguan. Dalam banyak kasus, ciri penting yang menentukan suatu fungsi ekosistem mungkin merupakan hasil bersama di antara berbagai spesies. Sebagai contoh, kandungan
25
nitrogen di suatu tempat tergantung pada banyak faktor tidak hanya pada ada atau tidaknya mikroba pengikat nitrogen (Naeem dkk., 2003).
Ciri fungsional dapat didikelompokkan ke dalam efek ciri fungsional (efek ciri) dan respon ciri fungsional (respon ciri) (Hooper dkk., 2002; Lavorel dan Garnier 2002). Efek ciri berperan untuk fungsi yang sedang diukur. Sebagai contoh, total nitrogen tanah adalah salah satu fungsi ekosistem, maka ciri komunitas mikroba tanah dihubungkan dengan denitrifikasi, nitrifikasi, amonifikasi, atau bagian apapun dari siklus nitrogen yang merepresentasikan efek ciri. Sedangkan respon ciri, adalah respon spesies kepada satu perubahan lingkungan. Sebagai contoh, jika terjadi musim kering, ciri yang berhubungan dengan toleransi musim kering atau kepekaan mikroba tanah terhadap penurunan kelembaban tanah adalah respon ciri. Berkenaan dengan penelitian BEF (Biodiversity and Ecosystem Functioning), respon ciri fungsional nampaknya merupakan faktor terpenting dalam menentukan stabilitas dan resiliensi biota dalam menghadapi gangguan.
Gangguan biasanya dipandang secara negatif sebagai pengacau keseimbangan ekosistem dan suatu penghalang untuk mengakses sumber daya yang jika tidak terjadi gangguan akan bersifat tersedia. Namun walaupun gangguan ekosistem akan mengganggu harapan ekonomi-sosial, perkembangan ilmu pengetahuan yang berdasar pada teori non-equilibrium menunjukkan bahwa gangguan adalah proses ekologis penting. Pada beberapa tingkatan intensitas dan kecenderungan waktu tertentu diperlukan gangguan tertentu untuk keberlanjutan dan produktivitas jangka panjang sebagian besar atau bahkan semua ekosistem (Saveland, 2003).
Sebenarnya, ekosistem dan proses yang mengaturnya secara terus menerus berubah (Saveland, 2003). Ketika terjadi suatu gangguan, maka efek awal dari gangguan tersebut adalah populasi dan ekosistem memasuki satu periode waktu untuk perbaikan serta perubahan. Perubahan yang terjadi tergantung pada sistem resiliensi yang dimiliki ekosistem tersebut. Sistem resiliensi dapat diukur dari kecepatan dan arah perubahan. Ekosistem yang memiliki sistem resiliensi tinggi akan berubah dengan cepat ke arah
26
suatu kondisi yang serupa dengan kondisi awal. Sedangkan ekosistem yang sistem resiliensinya rendah, laju perubahan akan lebih lambat dan dapat berubah ke arah suatu kondisi akhir yang baru (Lugo dan Waide, 1993).
Ekosistem merupakan sistem dinamis. Kesehatan ekosistem jangka panjang dihubungkan dengan gangguan (Saveland, 2003). Adanya gangguan dan recovery (pemulihan) dalam suatu ekosistem adalah mekanisme penting untuk arus energi dan siklus nutrien serta untuk pemeliharaan umur, species, genetik, keaneka ragaman struktural, dan semua atribut kesehatan ekosistem. Ekosistem sehat adalah ekosistem yang struktur dan fungsinya menyebabkan terpeliharanya kondisi keaneka ragaman hayati yang diinginkan, integritas biotik, dan proses ekologis dari waktu ke waktu (Kaufmann dkk. 1994). Gangguan merupakan satu komponen penting dalam dinamika ekosistem dan variasi didalam intensitas dan frekwensi gangguan bisa mempengaruhi struktur dan fungsi ekosistem (Hobbs, 1992). Banyak komunitas dan spesies tumbuhan tergantung pada gangguan, terutama untuk regenerasinya (Pickett dan White 1985). Oleh karena itu suatu kawasan konservasi misalnya cagar alam, ukurannya harus besar untuk memungkinkan rejim gangguan beroperasi secara alami, dan mendukung mosaik suatu fragmen habitat dalam tingkat gangguan yang berbeda, pemulihan suksesi, dan pematangan komunitas (Hobbs, 1992). Kesadaran dan pemahaman tentang gangguan ekologi dan perannya dalam dinamika ekosistem, serta kemampuan untuk mengkomunikasikan informasi tentang gangguan tersebut, adalah penting untuk pemahaman potensi ekosistem dan konsekwensi aneka pilihan pengelolaan ekosistem (Saveland, 2003).
27
BAB III CONTOH METODE EKOLOGI
A. Analisis Gugus (Cluster Analysis)
Analisis gugus bertujuan untuk menyederhanakan data dan menyajikannya dalam bentuk grafik. Langkah pertama dalam analisis gugus adalah menyatakan persamaan antara dua tegakan dalam suatu angka yang disebut koefisien komunitas (Community coefficient = CC) atau disebut juga sebagai indeks persamaan. Ada beberapa cara untuk menghitung koefisien komunitas, seperti terlihat pada tabel 1.
Tabel 1. Empat metode untuk menghitung koefisien komunitas (CC) dari data kehadiran dan % kerimbunan.
Spesies Data Kehadiran (frekwensi) dan % Kerimbunan Tegakan (kuadrat) A Tegakan B No. 1 No.2 No.3 No.4 No. 5 N0. 6 No. 7 10 4 - - 32 15 2 20 12 7 15 15 - 1 Total % Kerimbunan 64 70 Metode Penghitungan Rumus Penghitungan Koefisien Komunitas Jaccard, berdasarkan frekwensi
Jaccard, berdasarkan kerimbunan
Sorensen, berdasarkan frekwensi
Sorensen, yang dihargai kerimbunan
C x 100 = 4 x 100 =
A + B – C 5 + 6 – 4
MC x 100 = (10 + 4 + 15 + 1) x 100 = MA + MB 64 + 70
2C x 100 = 2 (4) x 100 = A + B 6 + 6
2 MC x 100 = 2 (10 + 4 + 15 + 1) x 100 = MA + MB 64 + 70
57,143
22
75
45
28
Catatan: A = Jumlah total spesies di tegakan A B = Jumlah total spesies di tegakan B C = Jumlah total spesies yang ada di tegakan A dan B MA = % total kerimbunan spesies di tegakan A MB = % total kerimbunan spesies di tegakan B MC = % total kerimbunan spesies yang ada di tegakan A dan B , yang digunakan adalah angka kerimbunan terendah dari setiap spesies.
Pada dasarnya semua rumus menunjukkan jumlah relatif spesies yang bersama sama dalam dua tegakan atau kuadrat. Nilai CC 100 menunjukkan kesamaan 100% (semua jenis yang ada di antara dua tegakan sama), sedangkan nilai CC 0 menunjukkan perbedaan 100% (tidak ada spesies yang sama di antara dua tegakan tersebut). Hasil analisa gugus adalah suatu dendogram seperti yang ditunjukkan gambar 5.
Setelah nilai CC dihitung untuk setiap pasangan tegakan, selanjutnya dihitung indeks perbedaan (index of dissimilarity = ID) antara setiap pasangan tegakan tersebut. Setelah itu dua tegakan dengan CC yang paling tinggi (persamaan terdekat) atau dengan nilai ID paling rendah diplot pada grafik sebagai garis tegak, yang dihubungkan oleh suatu garis mendatar pada nilai ID. Dalam Gambar 1, tegakan 1 dan 2 mempunyai nilai ID yang paling rendah, 12,5 dan mereka dihubungkan pada suatu level. Sekarang ada dua tegakan yang disatukan ke dalam sesuatu yang baru, tiruan, tegakan level dua, dan selanjutnya nilai ID dihitung lagi seluruhnya. Dalam penghitungan yang kedua, dihasilkan nilai ID terendah yaitu 31,25 untuk tegakan (1&2) dan 6. Mereka dihubungkan, nilai CC dihitung kembali, dan seterusnya sampai semua tegakan dihubungkan. Untuk lebih jelasnya dikemukakan langkah-langkah analisis gugus untuk data berikut ini.
29
Tabel 3. Data keberadaan spesies di tujuh plot di Hutan Kawah Putih pasca kebakaran th.1996
No.
Spesies Plot 1 2 3 4 5 6 7 1. Pinus merkusii - 2. Schima walichii - - 3. Litsea cubeba - - - 4. Homalanthus populnea - - - - 5. Caliandra cathartica - - - 6. Althingia sp. - - - 7. Acacia sp. - - - 8. Debregoasia sp. -
Langkah 1 : Menghitung nilai koefisien komunitas (indeks persamaan)
Rumus yang digunakan adalah CC = C x 100% (JACCARD)
A + B – C
Contoh perhitungan antara pasangan plot 1 dengan plot 2
CC (1,2) = 7 x 100% = 87,5% 8 + 7 – 7 Selanjutnya semua pasangan dihitung indeks kesamaannya seperti terlihat pada tabel 4.
Tabel 4. Daftar nilai koefisien komunitas (CC) antar pasangan plot Plot Plot 1 2 3 4 5 6 2 87,5 3 62,5 71,43 4 62,5 50 66,67 5 25 28,57 0 0 6 75 62,5 37,5 57,14 33,33 7 37,5 42,85 60 33,33 0 28,57
30
Langkah 2 : Menghitung Indeks Perbedaan (ID)
Rumus yang digunakan adalah ID = 100 - CC
Contoh perhitungan antara pasangan plot 1 dengan plot 2
ID = 100 – 87,5 = 12,5
Setelah itu semua pasangan dihitung indeks perbedaannya seperti terlihat pada tabel 5.
Tabel 5. Daftar nilai Indeks Perbedaan (ID) antar pasangan plot PLOT PLOT 1 2 3 4 5 6 2 12,5 3 37,5 28,57 4 75 50 33,33 5 75 71,43 100 100 6 25 37,5 62,5 42,86 66,67 7 62,5 57,15 40 66,67 100 71,43
Langkah 3 : Pengelompokkan
Mula-mula tiap plot dipandang sebagai satu kelompok. Selanjutnya gabungkan dua plot yang paling serupa/mirip. Plot yang paling serupa adalah plot yang memiliki nilai CC yang paling tinggi atau nilai ID yang paling rendah. Dari tabel 4 terlihat bahwa pasangan plot yang memiliki nilai ID paling rendah adalah plot 1 dengan plot 2, yaitu 12,5. Langkah-langkah pengelompokkannya seperti dibawah ini. a. Plot (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) b. Gabungkan plot 1 dengan 2, (12) (3) (4) (5) (6) (7) Selanjutnya hitung kembali nilai ID setiap pasangan plot seluruhnya.
Contoh penghitungan pasangan plot (1&2) dengan plot 3
3(12) = 1/2 ( e 1 3 + e 2 3) = 1/2 ( 37,5 + 28,57) = 33,04
31
Keterangan
e 1 3 adalah nilai ID pasangan plot 1 dengan plot 2 e 2 3 adalah nilai ID pasangan plot 2 dengan plot 3
Dari penghitungan kedua diperoleh nilai ID yang ditunjukkan pada tabel konstansi 6.
Tabel 6. Nilai ID dari perhitungan kedua PLOT PLOT 3 4 5 6 7 4 33,33 5 100 100 6 42,86 42,86 66,67 7 66,67 66,67 100 71,43 (1&2) 33,04 43,75 73,22 31,25 59,83
Dari penghitungan kedua nilai ID terkecil diperoleh dari pasangan plot (1&2) dengan plot 6, jadi yang digabungkan sekarang adalah plot (1&2) dengan plot 6.
c. Gabungkan (1&2) dengan (6) (4) (5) (7) (126) hitung kembali nilai ID setiap pasangan plot seluruhnya.
Contoh penghitungan pasangan plot (1&2&6) dengan plot 4
4 (126) = 1/3 ( e 1 4 + e 2 4 + e 6 4 ) = 1/3 ( 37,5 + 50 + 42,86) = 43,79 Dari penghitungan ketiga diperoleh nilai ID yang ditunjukkan pada tabel konstansi 7.
Tabel 7. Nilai ID dari perhitungan ketiga PLOT PLOT 3 4 5 7 4 33,33 5 100 100 7 66,67 66,67 100 (126) 42,8 43,79 59,72 63,69
32
Dari tabel 6 terlihat bahwa nilai ID terkecil adalah 33,33 dari pasangan plot 3 dengan 4. Selanjutnya hubungkan plot 3 dengan plot 4 kemudian cari kembali nilai ID seluruhnya.
d. Gabungkan (3) dengan (4) (5) (7) (126) (34)
Contoh perhitungan pasangan plot (3&4) dengan plot (126)
(126) (34) = 1/6 ( e 1 3 + e 1 4 + e 2 3 + e 2 4 + e 6 3 + e 6 4) = 1/6 ( 37,5 + 37,5 + 28,57 + 50 + 62,5 + 42,86 ) = 43,16 Nilai ID dari perhitungan keempat ditunjukkan pada tabel 8.
Tabel 8. Nilai ID dari perhitungan keempat
PLOT
PLOT (34) 5 7 5 50 7 53,34 100 (126) 43,16 59,72 63,69
e. Selanjutnya gabungkan (126) dengan (34) (5) (7) (12634) 5 (12634) = 1/5 ( 75 + 71,43 + 100 + 100 + 66,67) = 82,62 7 (12634) = 1/5 ( 62,5 + 57,15 + 40 + 66,67 + 71,43) = 59,55
Tabel 9 Nilai ID dari perhitungan kelima PLOT 5 7 (12634) 82,62 59,55
f. Akhirnya gabungkan (126347) dengan 5 5 (126347) = 1/6 (75 + 71,43 + 66,67 + 100 + 100 + 100)
33
4. Penyusunan Kembali Urutan Objek (Plot) Berdasarkan tabel konstansi 4 s.d. 8 diketahui bahwa pasangan plot yang memiliki nilai ID terendah pada setiap perhitungan adalah sebagai berikut: Pasangan (1) dengan (2) yaitu 12,5 Pasangan (12) dengan (6) yaitu 31,25 Pasangan (3) dengan (4) yaitu 33,33 Pasangan (126) dengan (34) yaitu 43,16 Pasangan (12634) dengan (7) yaitu 59,55 Pasangan (126347) dengan (5) yaitu 85,52 Berdasarkan data tersebut maka urutan plot dari yang paling mirip sampai dengan yang paling tidak mirip adalah (1) (2) (6) (3) (4) (7) (5) dengan dendogram (diagram pohon) seperti terlihat pada gambar 5.
0 1 2 6 3 4 7 5 Plot Gambar 5. Suatu dendrogram yang dihasilkan dari analisis gugus 7 tegakan. 80
100
70
60 50 40 30 20 10
Nilai ID
90
34
Suatu dendrogram analisis gugus dapat digunakan untuk klasifikasi jika peneliti memilih beberapa nilai-ambang yang menggambarkan asosiasi. Tegakan dari satu asosiasi sering ditetapkan dengan nilai CC di atas 50.
Keuntungan analisis gugus dengan diagram pohon di atas adalah bahwa proses klasifikasi dapat terukur ketika beberapa nilai-ambang dipilih sebagai batas yang lebih rendah bagi suatu asosiasi. Hubungan dari asosiasi yang berbeda juga dapat terukur. Suatu program komputer (CLUSTAN) telah dikembangkan untuk teknik analisis gugus ini (Wishart 1987). Kent dan Coker ( 1992) meninjau ulang program ini dan beberapa teknik clustering lainnya.
Program komputer lain telah dikembangkan untuk menghasilkan diagram cluster, salah satu yang semakin populer antar ilmuwan vegetasi adalah TWINSPAN (Two-Way Indicator Species Analysis = Dua cara analisis spesies indikator). TWINSPAN adalah suatu polythetic, prosedur klasifikasi yang bersifat memecah belah/divisive (Hill 1979B, Gauch dan Whittaker 1981,Gauch 1982). Polythetic artinya bahwa klasifikasi dan penempatan kelompok didasarkan pada semua data spesies (sebagai lawan monothetic). Metode divisive adalah suatu metode yang dimulai dengan total populasi individu, kemudian membagi mereka ke dalam kelompok yang lebih kecil dan semakin lebih kecil lagi (Kent dan Coker 1992). Tentu saja, TWINSPAN mulai dengan semua sampel bersama-sama di dalam satu gugus tunggal dan kemudian secara hirarkis membagi sampel itu berturut-turut ke dalam gugus yang lebih kecil dan lebih kecil. Hasil akhirnya adalah suatu dendrogram dari gugus dengan masing-masing gugus berisi satu sampai beberapa sampel. TWINSPAN sekarang dapat dilakukan secara pribadi dengan perangkat lunak dari paket Cornell Ecology Programs. Program itu telah secara luas digunakan pada berbagai skala ruang. Sebagai contoh, Monk dkk. (1989) menggunakan TWINSPAN untuk mengklasifikasikan hutan desidua di Amerika Utara bagian timur. Young dan Peacock (1992) menggunakan TWINSPAN untuk menguji validitas dari peta vegetasi gunung Kenya di Afrika Timur. Suatu modifikasi metode tersebut (disebut COINSPAN), telah dikembangkan baru-baru ini oleh Carleton dkk. ( 1996).
35
BAB IV EVALUASI
1. Konsep manakah di bawah ini yang menggambarkan satu kelompok alami, terdiri dari organisme yang berbeda, menghuni suatu lingkungan, saling berinteraksi satu sama lain melalui hubungan makan-dimakan, dan relatif independen dari kelompok lain? A. Komunitas B. Relung C. Populasi D. Biosfir E. Ekosistem 2. Faktor apakah di bawah ini yang merupakan faktor edafik dalam ekologi hutan? A. Tingkat keterbukaan hutan terhadap angin B. Populasi tawon kayu C. Penebangan pohn oleh manusia D. Udara yang terkandung dalam tanah E. Pertumbuhan parasitik dari jamur 3. Stok ikan haring di Laut Utara sedang menurun. Tindakan apakah yang paling tidak memungkinkan untuk mendorong ke arah peningkatan populasi ikan haring? A. Mengurangi intensitas penangkapan ikan B. Pengaturan quota C. Mengurangi ukuran jaring D. Mengurangi waktu musim penagkapan ikan E. Menangkap ikan dewasa dari pada juvenil.
4. Perhatikan diagram dan tabel di bawah ini. Berapa total jumlah energi yang tersedia untuk burung predator?
Rantai makanan dan tabel yang menunjukkan aliran energi dalam suatu komunitas pohon
Pohon ulat kumbang predator insektivora burung predator
Respirasi
Spesies π Jumlah/m2 π laju Respirasi/J m2 π produktivitas bersih / J m2 Burung Predator Kumbang Predator Pohon Insektivora Ulat 1,6 x 10-5 60 3 x 103 4 x 10-1 10-3 21 x 102 12,5 x 10-5 - 12,5 x 103 30 x 102 12,5 12,5 x 103 50 x 105 125 35 x 103
36
5. Organochlorin adalah pestisida kuat. Pernyataan yang mana berikut ini yang benar tentang organochlorin? 1. DDT, dieldrin dan aldrin adalah organochlorin 2. Organochlorin adalah pestisida yang spektrumnya sempit atau hanya mempengaruhi organisme target 3. Organochlorin sepenuhnya non-biodegradable 4. Mereka dapat mematikan pada level karnivora puncak. A. 1,2&3 B. 2,3&4 C. 1,3&4 D. 1,2&4 E. semua benar
6. Fenomena manakah di bawah ini yang sesuai dipelajari dengan metode transect garis? A. Ukuran populasi keong dalam suatu kayu B. Efek penggembalaan terhadap vegetasi di suatu padang rumput C. Kelimpahan relatif spesies rumput liar di suatu lahan D. Efek pupuk terhadap rumput di halaman E. Distribusi organisme di pantai
7. Proporsi energi kimia yang tersimpan dalam rumput yang dikonversi menjadi jaringan baru oleh sapi jantan muda yang sedang tumbuh dan berkembang adalah .... A. antara 100% dan 50% B. antara 50% dan 10% C. antara 10% dan 1% D. antara 1% dan 0.1% E. antara 0.1% dan 0.01% 8. Lima sampel tanah segar seberat 100 g dianalisis untuk mencari prosentase air dan bahan organik. Masing-masing contoh dikeringkan dalam oven pada suhu 1000 C selama satu minggu, Selanjutnya dipanaskan kembali pada suhu 3500 C sampai diperoleh massa yang tetap. Hasilnya diperlihatkan dalam tabel berkut
Sampel Tanah Berat setelah dikeringkan (100C) Berat setelah dipanaskan (350C) A 75 69 B 70 67 C 65 53 D 63 54 E 58 51
37
Berapakah prosentase air dalam tanah yang kandungan materi organiknya paling rendah? A. 25% B. 30% C. 35% D. 37% E. 42%
9. Dalam siklus nitrogen, bakteri nitrifikasi mengkonversi .... A. ammonium menjadi nitrit dan nitrat B. nitrogen atmosfir menjadi ammonium C. nitrogen atmosfir menjadi nitrat D. nitrat menjadi nitrogen atmosfir E. nitrat menjadi ammonium
10. Di dalam komunitas alami yang kompleks, organisme yang makanannya diperoleh dari tanaman dalam jumlah tahapan yang sama dinyatakan memiliki tingkat tropik yang sama. Pernyataan manakah yang tepat? A. Hanya satu spesies dapat menduduki satu tingkatan tropik B. Satu spesies dapat menduduki lebih dari satu tingkatan tropik C. Karnivora (pemakan daging) adalah selalu terdapat di tingkatan tropik kedua D. Selalu terdapat empat tingkatan tropik dalam satu rantai makanan. E. Biomas setiap tingkatan tropik tetap. 11. Tabel berikut memperlihatkan jumlah dua spesies bernakel yang terdapat pada bebatuan pantai.
Faktor apakah yang membatasi distribusi bernakel? A. Balanus memerlukan lebih banyak cahaya dibanding Chthamalus B. Balanus berkamuflase lebih baik dibanding Chthamalus C. Balanus mempunyai kapasitas reproduksi yang lebih besar dibanding Chthamalus D. Balanus lebih tidak toleran terhadap kekeringan dibanding Chthamalus E. Balanus tumbuh lebih cepat pada temperatur lebih rendah dibanding Chthamalus.
12. Tabel berikut memperlihatkan hasil studi lapangan tentang empat spesies yang membentuk satu rantai makanan di suatu hutan.
38
Tuliskan huruf-huruf dari spesies yang menunjukkan urutan aliran energi dalam rantai makanan yang terbentuk, kemudian hubungkan dengan panah !
13. Gambar berikut ini menunjukkan bagian dari siklus karbon.
Tuliskan nomor-nomor di atas pada kolom yang tepat dalam tabel di bawah ini.
A. Combustion B. Consumption C. Death D. Photosynthesis E. Respiration F. Decomposition
14. Grafik di bawah ini memperlihatkan perubahan faktor-faktor berikut dalam suatu danau selama satu tahun: Jumlah produsen Jumlah konsumen primer Kuantitas nutrien Intensitas cahaya Temperatur
39
I. Kurva mana yang menunjukkan jumlah konsumen primer? II. Kurva mana yang menunjukkan jumlah produsen? III. Kurva mana yang menunjukkan kuantitas nutrien?
15. Transfer energi pada ekosistem terestrial sering digambarkan dengan piramida energi. Manakah pernyataan berikut yang benar ? A. Efisiensi Ekologis tertinggi terdapat pada konsumen puncak B. Sekitar 10 % energi dari satu level tropik dialirkan ke dalam biomasa level tropik berikutnya C. Energi yang hilang sebagai panas atau dalam pernapasan sel adalah 10 % dari energi yang tersedia pada setiap level tropik D Hanya 25 % energi dalam satu level tropik yan dapat diteruskan ke level tropik berikutnya.
40
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, (2008) : Hutan dan Pemanasan Bumi, Makalah disampaikan dalam Seminar “Sosialisasi Pemanfaatan Jasa Lingkungan (Nilai Intrinsik) Sumberdaya Hutan Tingkat Propinsi Jawa Barat, 3 April 2008, Pusat Standardisasi dan Lingkungan, Departemen Kehutanan.
Barbour,M.G. et.all. 1998, Terrestrial Plant ecology, Third Edition, Addison Wesley Longman,Inc. California.
Barkmann, J., Glenk, K., Keil, A., Leemhuis, C., Dietrich, N., Gerold, G., dan Marggraf, R. (2008) : Confronting Unfamiliarity with Ecosystem Functions: The Case for an Ecosystem Service Approach to Environmental Valuation with Stated Preference Methods, Journal of Ecological Economics, 65 (1), 48-62.
Bishop, J.T. (ed.), (1999) : Valuing Forests ;A Review of Methods and Applications in Developing Countries, Environmental Economics Programme, International Institute for Environment and Development (IIED), London.
Boyd, J., dan Banzhaf, S. (2006) : What Are Ecosystem Services? The Need for Standardized Environmental Accounting Units, Discussion Paper, Washington, DC www.rff.org, download pada 3 Februari 2007.
Bradshaw, A.D. (1992) : The Biology of Land Restoration, Applied Population Biology, Kluwer academic Publisher, Dordrecht-Boston-London.
Brown, S. (1997) : Estimating biomass and biomass change of tropical forests: A primer. Forestry paper 134. FAO, Rome, Italy.
Campbell, R.M. 2004, Biologi, Edisi Kelima, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Carroll, N. (2009) : Biodiversity Banking – How market Forces can Promote Conservation, The Katoomba Groups, Ecosystem Marketplace, http://www.ecosystemmarketplace.com/media/pdf/ccb_nc_article.pdf, download pada 24 Juni 2009.
Costanza, R., d’Arge, R., de Groot, R., Farberk, S., Grasso, M., Hannon, B., Limburg, K., Naeem, S., O’Neill, R.V., Paruelo, J., Raskin, R.G., Suttonkk, P., dan Belt, M. (1997) : The value of the world’s ecosystem services and natural capital, Journal of Nature, 38, 253 – 260.
Daily, G.C., Alexander, S., Ehrlich, P.R., dan Tilman, D. (1997) : Ecosystem Services: Benefits Supplied to Human Societis by Natural Ecosystems, Issues in Ecology, 2, Spring 1-16. Ecological Society of America.
41
Danny, W. (2008) : Kebijakan Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan. Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Dan Wisata Alam. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan Dan Konservasi Alam. Departemen Kehutanan.
De Groot, R. S., Wilson, M. A., dan Boumans, R. M. J. (2002) : A typology for the Classification, Description and Valuation of Ecosystem Functions, Goods and Services, Journal of Ecological Economics, 41, 393–408.
De Groot, R.S., de Wit, M., Erica, J., Gaddis, B., Kousky, C., McGhee, W., dan Young, M.D. (2007a) : Making Restoration Work: Financial incentives, 32 (286-293), Environmental Systems Analysis group, Wageningen University, Wageningen . De Groot , R., dan Hein, L. (2007b) : Concept and Valuation of Landscape Functions at Different Scales, Environmental Systems Analysis Group, Wageningen University, Netherlands.
Emerton, L. (2003) : Tropical Forest Valuation: Has It All Been A Futile Exercise, Paper Submitted to the XII World Forestry Congress, Quebec City, Canada.
Fisher, B., Turner, R. K., dan Morling, P. (2009) : Defining and classifying ecosystem services for decision making, Journal of Ecological Economic, 68, 643 – 653.
Hardin, G. 1977, Ethical Implication of Carrying Capacity,
Hobbs, R.J., dan Huenneke, L.F. (1992) : Disturbance, Diversity, and Invasion: Implications for Conservation, Journal of Conservation Biology, 6 (3), 324 – 337.
Hooper, D., Buchmann, N., Degrange, V., Dıaz, S.M., Gessner, M., dan Grime, P. (2002) : Species diversity, functional diversity and ecosystem functioning. In: Biodiversity and Ecosystem Functioning, Oxford University Press, Oxford.
Ibrahim, S. (2008), Farmasi Lingkungan II, Bahan Mata Kuliah Sekolah farmasi ITB, Bandung.
Karr, M. 2003. Mineral Nutrient Depletion in US farm and Range Soils. Wellness Lifestyles, Inc. California.
Kershaw, KA. (1973) : Quantitative an Dynamic Plant Ecology. Second Edition Butter and Tanner, London.
King, D.M. dan Mazzota, M. (2004) : Ecosystem Valuation, Maryland http://www.ecosystemvaluation.org/dollar_based.htm, download pada 19 Desember 2005.
Krebs, J.K. (1985) : Ecology, The Experimental Analysis of Distribution and Abundance, Harper Collins Publisher, New York.
42
Kremen, C. (2005) : Managing ecosystem services: what do we need to know about their ecology?, Journal of Ecology Letters, 8, 468–479.
Lavorel, S. dan Garnier, E. (2002) : Predicting Changes in Community Composition and Ecosystem Functioning from Plant Traits Revisiting the Holy Grail, Journal of Funct. Ecology, 16, 545–556.
Lugo, A.J., dan Waide, R.B. (1993) : Catastrophic and Background Disturbance of Tropical Ecosystems at the Luquillo Experimental Forest, Journal of Biosci, 18 (4), 475-481.
McLaren, J.R. (2006) : Effects of Plant Functional Groups on Vegetation Dynamics and Ecosystem Properties, Journal of Arctic, 59 (4), 449 – 452.
Mueller-Dombois, D., dan Ellenberg, H. (1974) : Aims and Methods of Vegetation Ecology, John Wiley & Sons, New York.
Naeem, S., Chair, F.S., Chapin III, Costanza, R., Paul R., Ehrlich, Golley, F.B., Hooper, D.U., Lawton, J.H., ONeill, R.V., Mooney, H.A., Sala, O.E., Symstad, A.J., dan Tilman, D. (1999) : Biodiversity and Ecosystem Functioning: Maintaining Natural Life Support Processes, Issues in Ecology , 4 , 2 – 19, Ecological Society of America.
Millenium Ecosystem Assessment, (2005) : Ecosystem and Human Well-being: Synthesis, Island Press, Washington DC.
Pagiola, S., Agostini, P., Gobbi, J., de Haan, C., Ibrahim, M., Murgueitio, E., Ramírez, E., Rosales, M., dan Ruíz, J.P., (2004) : Paying for biodiversity conservation services in agricultural landscapes, Environment Department Paper No. 96, Environmental Economics Series, The World Bank Environment Department.
Pitchairamu, C., Muthuchelian, K., Siva, N. (2008) : Floristic Inventory and Quantitative Vegetation Analysis of Tropical Dry Deciduous Forest in Piranmalai Forest, Eastern Ghats, Tamil Nadu, India. Ethnobotanical Leaflets, 12, 204-216
Price, R. (2007) : An introductory guide to valuing ecosystem services, Department for Environment, Food and Rural Affairs, London.
Raymond, C.M., Bryan, B.A., MacDonald D.H., Cast, A., Strathearn, S., Grandgirard, A., dan Kalivasb, T. (2009) : Mapping Community Values for Natural Capital and Ecosystem Services, Journal of Ecological Economics, 68, 1301 – 1315.
Ryan, M.F. (2003) : Forest Biomass and Carbon Stocks, Australia’S State of the Forest Report.
43
Sasmitamihardja, D. dan Siregar, A.H. 1990. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam ITB. Bandung.
Saveland, J. (2003) : Disturbance Processes And Ecosystem Management, USDA Forest Service Forest Fire & Atmospheric Sciences Research, Washington, DC. http://www.fs.fed.us/rm/pubs/saveland/disturbance.html, download pada 29 Desember 2006.
Schlamadinger, B., Bird, D.N., Emmer, I.M., Quijano, J.F.G., Muys, B., dan Somogyi, Z. (2004) : The average carbon-stock approach for small-scale, CDM AR projects, www.joanneum.at/encofor.
Stiling, P.D. 1996. Ecology:Theories and Applications, Second Edition, Prentice Hall International, Inc. New Jersey.
Treweek,J, Therivel, R., Thompson, S., Slater, M., (2005), Principles for The Use of Strategic Environmental Assessment as a Tool for Promoting The Conservation and sustainable Use of Biodiversity, Journal of Environmental Assessment Policy and Management, Vol 7, No. 2, pp. 173 - 199
Viau, E.A., 2004, Carriying Capacity, (http://www/world builders/carrying capacity/EViau CSULA.htm) 19 Mei 2006
Vitousek, P.M., Chair, Aber, J., Howart, R. W., Likens, G. E., Matson, P. A., Schindler, D. W., Schidler, W. H., Schlesinger, W. H., dan Tilman, G. D. (1997) : Human Alteration of the Global Nitrogen Cycle: Causes and Consequences, Issues in Ecology, Journal of Ecologycal Society of America.
Wei, Z.G., Ling, G. Y., dan Ming, L.Y. (2003) : Spatial Pattern of Ecosystem Function and Ecosystem Conservation, Journal of Environmental Management, 32 ( 6), 682- 692.
Whittaker, R. H. dan Likens, G. E. (1975) : The Biosphere of Man. In Primary Productivity of The Biosphere, Springler-Verlag, New York.
Wiharto, M. (2003) : Produktivitas Vegetasi Hutan Hujan Tropis, Makalah Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
MODUL BIOLOGI SMA
EKOLOGI
Penulis: Yeni Hendriani Penyelia: Drs. Moh. Sohib., M.Sc.
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT JENDERAL PENINGKATAN MUTU PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN PUSAT PENGEMBANGAN PEMBERDAYAAN PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN ALMU PENGETAHUAN ALAM JL. DIPONEGORO 12 TELP (022) 4231191 FAX. 4207922 BANDUNG 40116 2010
2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Istilah ekologi berasal dari dua kata yunani (oikos = rumah atau tempat tinggal dan logos yang berarti suatu pengkajian atau penelitian). Jadi secara harfiah ekologi adalah penelitian tentang organisme di rumah atau lingkungan aslinya. Istilah ekologi pertama kali dikemukakan oleh Reiter pada tahun 1868, tetapi didefinisikan secara lugas oleh Ernest Haeckel pada tahun 1869. Haeckel mendefinisikan ekologi sebagai ilmu pengetahuan tetang hubungan organisme dengan lingkungannya. Sejalan dengan berkembangnya ilmu, definisi ekologi telah berkembang pula seperti terlihat pada tabel 1.
Tabel 1 Perkembangan definisi ekologi Sumber Definisi Odum (1971) Studi tentang struktur dan fungsi alam McNaughton dan Wolf (1973) Studi ilmiah tentang hubungan antara organisme dan lingkngannya. Ricklefs (1979) Studi tentang lingkungan alami, terutama hubungan timbal balik antara organisme dan lingkungan sekitarnya. Colinvaux (1986) Studi tentang hewan dan tumbuhan dalam hubungannya dengan kebiasaan dan habitat mereka. Ehrlich dan Roughgarden (1987) Studi tentang hubungan antara organisme dengan lingkungan fisik dan biologisnya. Stilling (1992) Studi tentang interaksi antar organisme dan antara organisme dengan lingkungannya. Dodson dkk. (1998) Studi tentang hubungan, distribusi, dan kelimpahan organisme atau kelompok organisme di suatu lingkungan. Krebs (2001) Studi ilmiah tentang interaksi organisme yang menentukan distribusi dan kelimpahannya. Begon dkk. (2006) Studi ilmiah tentang interaksi antara organisme dan lingkungannya. Gurevitch dkk. (2006) Studi tentang hubungan antara organisme hidup, interaksi organisme satu dengan lainnya, serta pola dan penyebab distribusi dan kelimpahan organisme.
Penelitian ekologi sering dibedakan ke dalam autekologi dan sinekologi. Autekologi berhubungan dengan penelitian tentang suatu organisme atau spesies secara individual,
3
misalnya penelitian tentang riwayat hidup (life history) dan perilaku organisme sebagai alat adaptasi terhadap lingkungan. Sedangkan sinekologi adalah penelitian tentang hubungan dan interaksi kelompok organisme yang hidup bersama-sama sebagai sebuah unit.
Ekologi modern dewasa ini merupakan ilmu pengetahuan multidisipliner yang didukung oleh berbagai disiplin ilmu seperti genetika, statistik, meteorologi, geologi, ilmu kehutanan, holtikultur, agrikultur dan lain-lain. Disiplin ilmu ini telah sangat membantu kepada pemahaman yang lebih baik tentang berbagai prinsip ekologi. B. Kompetensi Dasar Menganalisis hubungan antara komponen ekosistem, perubahan materi dan energi serta peranan manusia dalam keseimbangan ekosistem. C. Tujuan Meningkatkan pengetahuan dan kepedulian tentang : 1) ekosistem; 2) dinamika dan struktur populasi; 3) rantai makanan dan aliran energi; 4) biosfer dan manusia; 5) suksesi
D. Ruang Lingkup Modul ini membahas mengenai konsep ekosistem; dinamika dan struktur populasi, rantai makanan dan aliran energi, biosfer dan manusia, serta suksesi.
4
BAB II EKOSISTEM
A. Ekosistem dan Aliran Energinya Ekosistem meliputi semua organisme dalam suatu daerah tertentu dan faktor-faktor abiotik yang berinteraksi dengannya, atau suatu komunitas dengan lingkungan fisiknya. (Campbell, 2004). Ekosistem dapat dipahami dan dipelajari dalam berbagai ukuran, asalkan ada komponen pokok (biotik dan abiotik) yang bekerja bersamaan untuk mencapai semacam kemantapan fungsional. Memang kebanyakan ekosistem tidak pernah dapat ditentukan benar batasan-batasannya. Reiners (1986), dalam Stilling (1992), berpendapat bahwa untuk alasan ini dan yang lainnya ekosistem hendaknya paling sedikit merupakan suatu tingkat organisasi ekologi. Ia menyarankan tentang kekurangan suatu sistem yang logis dari prinsip-prinsip yang berhubungan dan suatu pemahaman yang baik serta keluasan fokus yang diterima. Keuntungan yang paling besar dari ekologi ekosistem adalah aliran energi dan siklus nutrien, dimana komunitas dan populasi dapat diperbandingkan satu sama lain dan di dalam tingkatan trofik tertentu.
Untuk menjelaskan tentang pentingnya unit individu dalam skema suatu ekosistem ada tiga faktor yang dapat diukur. Pertama adalah biomassa, standing crop dari suatu organisme. Biomassa sangat penting, namun dalam beberapa kasus mungkin mendorong untuk menarik kesimpulan yang keliru. Faktor yang kedua adalah aliran energi. Komunitas dipengaruhi oleh tranformasi energi yang terjadi. Faktor yang ketiga ekosistem mungkin sangat dibatasi oleh ketersediaan mineral. Dalam kasus ini, terbatasnya aliran nutrien yang melewati suatu ekosistem menjadi faktor yang sangat penting dalam memahami bagaimana kerja suatu sistem.
Setiap ekosistem memiliki suatu struktur trofik dari hubungan makan-dimakan. Tingkatan trofik yang merupakan dasar untuk mendukung yang lainnya dalam suatu ekosistem terdiri dari organisme autotrof atau produsen primer. Sebagian besar produsen primer adalah organisme yang mampu melakukan fotosintesis. Kelompok organisme di atas produsen primer merupakan organisme heterotrof yang secara langsung atau tidak
5
langsung bergantung pada hasil fotosintetik produsen primer. Organisme yang menduduki tingkatan trofik kedua ini adalah konsumen primer. Tingkat trofik berikutnya terdiri dari konsumen sekunder, yaitu organisme karnivora yang memakan herbivora. Selanjutnya karnivora ini dapat dimakan oleh karnivora lain yang merupakan konsumen tersier dan menduduki tingkatan trofik berikutnya.
Gambar 1 : Struktur trofik dan transfer energi
Struktur trofik suatu ekosistem menentukan lintasan aliran energi dan siklus nutrien. Jalur di sepanjang perpindahan makanan dari tingkat trofik satu ke tingkat trofik yang lain dan yang dimulai dari produsen primer, dikenal sebagai rantai makanan. Panjang rantai makanan dibatasi oleh jumlah energi yang dipindahkan dari satu tingkat ke tingkat berikutnya.
B. Daya Dukung Ekosistem (Carrying Capacity)
Kehidupan manusia tergantung pada ekosistem yang sehat, dimana sumber daya untuk kehidupan tersedia secara berkelanjutan dan ekosistem dapat menyerap limbah yang
6
dihasilkan manusia. Laju pertumbuhan penduduk dan pola konsumsi yang cenderung meningkat akan menyebabkan cekaman terhadap ekosistem. Degradasi lingkungan, menurunnya keanekaragaman hayati, berkurangnya kandungan air tanah, dan menurun atau hilangnya kesuburan tanah adalah beberapa tanda yang menunjukkan bahwa ekosistem mengalami cekaman. Ancaman terhadap ekosistem karena over eksploitasi dan pemborosan sumber daya menyebabkan lebih banyaknya limbah yang dihasilkan, sehingga resiliensi atau daya lenting ekosistem (kemampuan ekosistem untuk menyerap goncangan dan gangguan) akan berkurang atau terganggu. Ini menyiratkan ada ambang batas di mana tingkat cekaman akan mendorong ke arah gangguan sistem tersebut. Satu konsep yang digunakan untuk memahami ambang batas ini adalah konsep daya-dukung ekosistem. Konsep ini berasumsi bahwa ada suatu batasan jumlah individu yang dapat didukung suatu ekosistem tanpa menurunkan derajat lingkungan alami, sosial, ekonomi dan sistem budaya, dalam suatu ukuran tidak langsung dari tingkat cekaman maksimum dimana ekosistem masih dapat memeliharanya (Barbier, Burgess dan Folke 1994). Sejalan dengan pendapat tersebut Campbell (2004), mendefinisikan daya dukung (carrying capacity) sebagai ukuran populasi maksimum yang dapat didukung oleh suatu lingkungan tertentu tanpa ada penambahan atau penurunan ukuran populasi selama periode waktu yang relatif lama. Sementara Stiling (1992) mendefinisikan daya dukung sebagai jumlah hewan atau tumbuhan (atau industri) yang dapat didukung oleh sumber daya yang tersedia, atau banyaknya individu yang dapat didukung sumber daya di suatu habitat. Daya dukung biasa diberi simbol K, merupakan ciri lingkungan yang bervariasi terhadap waktu dan ruang dengan kelimpahan sumberdaya yang terbatas (Gambar 2 )
7
Gambar 2 : Model Pertumbuhan Populasi
Keterangan: Garis A, menunjukkan model pertumbuhan populasi eksponensial Garis B, menunjukkan model pertumbuhan populasi logistik K, daya tampung habitat untuk populasi, kepadatan populasi tergantung pada petumbuhan logistik (ketersediaan makanan), di mana K adalah asimtot bagian atas atau nilai maksimal N, dengan laju pertumbuhan populasi seimbang. Model pertumbuhan populasi ini mengasumsikan bahwa pertumbuhan populasi akan lambat ketika mendekati daya tampung lingkungan dengan persamaan sebagai berikut:
dN/dt = r N (K-N)/K
r, adalah laju pertumbuhan populasi, sedangkan N adalah ukuran populasi. Persamaan ini dikenal sebagai persamaan Verhulst-Pearl, yang merupakan dasar dari banyak teori ekologi dan merupakan dasar untuk pertumbuhan populasi yang ideal (Barbour dkk. 1999).
Secara alami, jumlah hewan atau tumbuhan yang ada di suatu lingkungan pada umumnya di bawah daya-dukung. Jumlah ini tergantung pada fluktuasi di dalam
K
A
B
Jumlah organisme
8
lingkungan, seperti tahun kering dan tahun basah. Jika daya-dukung terlewati, maka ekosistem itu akan rusak, dan kadang-kadang tidak terpulihkan. Sering kita tidak memperhatikan pemahaman tentang daya-dukung, sehingga banyak aktivitas manusia yang bertentangan dengan konsep tersebut. Padahal salah satu bagian dari konsep kebugaran survival (survival fitness) adalah memiliki suatu mekanisme untuk hidup di dalam daya dukung lingkungan (Viau, 2004).
Menurut Barbour dkk. (1999), untuk menghitung daya dukung mungkin lebih baik menggunakan penghitungan biomassa dari pada jumlah total populasi. Hirarki ukuran dapat mendorong secara kuat perbedaan antara individu-individu yang lebih besar dengan individu yang lebih kecil dalam suatu populasi (Nagashima dan Terashima 1995, Weiner 1995).
Beberapa ahli ekologi menggambarkan carrying capacity sebagai titik di mana angka kelahiran sama dengan angka kematian. Definisi lain adalah rata-rata ukuran suatu populasi dalam keadaan stabil (tidak terus meningkat maupun menurun), sedangkan ahli ilmu lingkungan hidup lainnya menggambarkan daya dukung dalam kaitannya dengan hukum minimum Liebig’S yang menyatakan bahwa, di bawah kondisi lingkungan yang stabil, ukuran populasi suatu spesies dibatasi oleh sumber daya yang diperlukan dalam jumlah yang paling sedikit (Cohen 1996).
Caughley (1976, dalam Krebs, 1985), mengemukakan adanya perbedaan pemahaman konsep daya dukung lingkungan antara ahli ekologi dengan ahli ekonomi. Daya dukung ekologi adalah kepadatan maksimum populasi hewan yang dapat hidup berkelanjutan tanpa adanya pemanenan serta tanpa mempengaruhi kecenderungan vegetasi. Adapun daya dukung ekonomi adalah kepadatan populasi hewan dengan pemanenan maksimal yang berkelanjutan dan biasanya dibawah daya dukung ekologi.
Metode pengelolaan untuk memelihara daya-dukung suatu habitat kadang berbenturan dengan teori etika. Etika Judeo-Christian adalah penganut kemutlakan, misalnya “tidak boleh membunuh". Padahal dalam konsep daya dukung, hal ini tergantung pada keadaan.
9
Jika ukuran kumpulan spesies tersebut kurang dari daya-dukung kita mungkin dengan tegas setuju pada aturan ini, tetapi jika populasi telah tumbuh di luar daya-dukung, jika perlu kita dapat membunuh binatang tersebut sampai jumlahnya ada dalam tingkat yang aman (Hardin, 1977). Menurut Garrett Hardin (1991), daya-dukung adalah dasar utama untuk akuntansi demografis." Pada sisi lain, perencana dan ahli ekonomi konvensional biasanya mengabaikan konsep ini ketika berlaku untuk manusia. Visi mereka bahwa ekonomi adalah satu di mana " faktor-faktor produksi yang dapat digantikan tidak terbatas untuk satu sama lain" dan di mana " penggunaan sumber daya manapun dengan sungguh menjamin suatu peningkatan dalam keluaran" (Kirchner dkk. 1985). Daly ( 1986) mengamati, bahwa visi ini mengasumsikan suatu dunia " di mana daya-dukung dengan tidak terbatas dapat diperluas" ( dan oleh karena itu tidak relevan). Dengan jelas ada divisi besar di atas nilai konsep daya-dukung dalam debat.yang berkelanjutan
Sayang sekali, situasi ekonomi tidak berhubungan secara langsung dengan daya dukung lingkungan. Untuk satu hal, daya dukung ekologi tidak sama dengan daya dukung ekonomi, kepadatan hewan yang masih diijinkan untuk pemanenan maksimal yang berkelanjutan, dan laporan selanjutnya menunjukkan bahwa daya dukung ekonomi tidak perlu berbeda antara ekosistem liar dengan ekosistem domestik (Walker, 1976 dalam Stiling 1992).
Dengan adanya interaksi antara faktor ekologis, ekonomi, dan sosial, maka gangguan pada ekosistem pada akhirnya akan mempunyai konsekwensi sosial dan ekonomi. Selanjutnya perubahan pokok di dalam subsistem sosial dan ekonomi ini akan mendorong ke arah perubahan di dalam ekosistem tersebut. Ada suatu bayaran yang kita harus berhati-hati dalam pendekatan konservatif dan intervensi manusia di lingkungan alami, di mana mungkin ada konsekwensi dan ancaman serius atau kerusakan yang tidak dapat diubah (irreversible) pada proses dan sistem alami (seperti dicatat oleh Myers 1993 dalam Barbier, Burgess dan Folke 1994).
10
C. Fungsi dan Jasa Ekosistem Ekosistem menyediakan berbagai macam jasa yang bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan manusia (Pagiola dkk., 2004). Oleh karena itu kesejahteraan manusia sangat tergantung kepada ekosistem dan manfaat yang dihasilkannya. Susunan jasa ini dihasilkan dari interaksi komplek siklus-siklus alami yang saling mempengaruhi dan bersumber dari aliran energi matahari (Daily dkk., 1997).
1. Fungsi Ekosistem Fungsi ekosistem adalah proses-proses fisika, kimia, dan biologi atau atribut yang berperan untuk self-maintenance dari suatu ekosistem (King dan Mazzota, 2004). Sedangkan menurut de Groot (2007), fungsi ekosistem adalah kapasitas proses-proses alami dan komponen-komponennya untuk menyediakan barang dan jasa yang memuaskan kebutuhan manusia, secara langsung atau tidak langsung. Fungsi ekosistem mengacu pada berbagai sistem biologi atau proses ekosistem. Proses ekosistem ini dikendalikan oleh keaneka ragaman dan identitas spesies tumbuhan, hewan, dan mikroba yang hidup di suatu komunitas (Naeem dkk., 1999). Barang-barang yang dihasilkan ekosistem (seperti makanan) dan jasa (seperti penguraian limbah) merepresentasikan manfaat yang dihasilkan secara langsung atau tidak langsung dari fungsi ekosistem untuk kesejahteraan manusia (Costanza dkk., 1997). Fungsi ekosistem adalah satu topik sentral dalam penelitian valuasi lingkungan. Estimasi nilai fungsi ekosistem dilakukan melalui jasa ekosistem (ecosystem services) yang mereka sediakan (Barkmann dkk., 2008). Fungsi ekosistem dikelompokkan ke dalam empat kategori utama (De Groot dkk., 2002) sebagai berikut.
1.1 Fungsi Regulasi Fungsi ini berhubungan dengan kapasitas ekosistem alami dan semi alami untuk mengatur proses ekologis penting yang mendukung sistem kehidupan melalui siklus biogeokimia dan proses-proses biosfir lainnya (De Groot, 2007b). Selain untuk pemeliharaan kesehatan ekosistem itu sendiri, fungsi regulasi menyediakan banyak jasa yang secara langsung dan tidak langsung bermanfaat untuk manusia seperti jasa pembersihan udara, air, tanah, dan jasa pengendalian hama.
11
1.2 Fungsi Habitat Ekosistem alami menyediakan tempat perlindungan dan habitat untuk tanaman dan binatang liar, dengan demikian berperan untuk konservasi in situ keanekaragaman biologi dan genetik serta proses evolusioner (De Groot, 2002). Fungsi habitat dari ekosistem penting untuk memelihara proses alami yang mencakup refugia dan fungsi pengasuhan. Fungsi refugia merefleksikan nilai yang dimiliki bentang alam dalam menyediakan habitat untuk flora dan fauna yang terancam. Fungsi pengasuhan menunjukkan bahwa beberapa unit bentang alam menyediakan satu lokasi yang tepat sekali untuk reproduksi dan dengan demikian mempunyai dampak pengaturan terhadap pemeliharaan populasi di tempat lain (De Groot, 2007b). Fungsi regulasi dan habitat adalah fungsi yang penting dalam pemeliharaan proses-proses dan komponen alami, oleh karena itu syarat dalam pemeliharaan ekosistem adalah terpeliharanya fungsi regulasi dan habitat (De Groot, 2007a).
1.3. Fungsi produksi Fungsi produksi meliputi fungsi yang mensuplai jasa fisik dalam kaitannya dengan sumber daya atau ruang (De Groot, 2007). Fungsi ini diawali oleh proses fotosintesis dan pengambilan nutrien oleh organisme autotrop yang mengkonversi energi, karbon dioksida, air dan nutrien menjadi berbagai macam struktur karbohidrat yang digunakan oleh produsen kedua untuk menciptakan berbagai biomassa hidup (De Groot, 2002). Keanekaragaman dalam struktur karbohidrat ini, menyediakan banyak barang-barang ekosistem untuk konsumsi manusia, mulai dari makanan dan bahan-bahan mentah sampai sumber daya energi dan materi genetik.
1. 4. Fungsi Informasi Fungsi kultural dan kenyamanan berhubungan dengan manfaat yang diberikan ekosistem kepada manusia melalui rekreasi, pengembangan kognitif, relaksasi, dan refleksi spiritual (De Groot, 2007). Hal ini dapat berupa kunjungan langsung ke suatu area, atau secara tidak langsung dengan cara menikmati suatu area melalui film tentang lingkungan alami, atau memperoleh kepuasan melalui bacaan bahwa satu bentang alam berisi
12
keanekaragaman hayati penting. Fungsi ini sering juga disebut fungsi informasi (De Groot, 2002).
Fungsi ekosistem sering heterogen karena faktor-faktor biologi dan fisika yang terdapat dalam ekosistem tersebut. Kita dapat mempengaruhi fungsi ekosistem dengan mengubah pola spatial dari unsur-unsur biologi dan fisika pada suatu ekosistem dan mengatur kombinasi unsur tersebut. Pengaruh variasi posisi disoroti sebagai suatu fenomena yang menghasilkan pola spatial dari fungsi ekosistem. Pengaruh tersebut menunjukkan bahwa variasi serupa dari suatu faktor mungkin menghasilkan akibat yang berbeda dalam keseluruhan situasi ketika variasi ini terjadi dalam posisi spatial yang berbeda (Wei, 2003).
2. Jasa Ekosistem (Ecosystem Services) Jasa ekosistem adalah barang dan jasa yang disediakan oleh ekosistem alami yang bermanfaat untuk manusia (Price, 2007). Makna lainnya adalah kondisi dan proses yang terdapat pada ekosistem alami dan spesies yang membuat mereka dapat mempertahankan diri dan memenuhi kebutuhan hidup manusia (Daily dkk., 1997). Hal ini dapat juga dinyatakan sebagai manfaat yang dihasilkan untuk manusia atau lingkungan alami, yang diakibatkan oleh fungsi ekosistem (Costanza dkk., 1997, MA, 2005). Sementara Kremen (2005), mendefinisikan jasa ekosistem adalah sekumpulan fungsi ekosistem yang berguna bagi manusia. Definisi lain dari jasa ekosistem adalah komponen alam yang secara langsung dinikmati, dikonsumsi, atau digunakan untuk kesejahteraan manusia (Boyd, 2006). Contoh jasa ekosistem adalah pemurnian air, biodiversitas, pengendali banjir, perlindungan angin dan penyediaan makanan (Nunens, 2004). Menurut Carroll (2009), barang dan jasa yang dihasilkan ekosistem memiliki hubungan langsung dengan kesehatan ekonomi lokal dan global.
Banyak dari jasa ekosistem merupakan faktor kritis untuk kemampuan bertahan hidup manusia (misalnya regulasi iklim, pembersihan udara, dan penyerbukan tanaman) sementara yang lainnya meningkatkan kualitas hidup (aestetika) manusia. Dominasi manusia pada biosfer telah mendorong perubahan cepat dalam komposisi, struktur dan
13
fungsi ekosistem (Vitousek dkk. 1997), sehingga dalam banyak kasus kapasitas mereka dalam menyediakan jasa yang diperlukan menjadi berkurang atau terkikis (Daily dkk., 1997). Pemahaman ekologis yang rinci dari sebagian besar jasa ekosistem masih sedikit, sehingga merintangi kemajuan dalam konservasi dan manajemen jasa ekosistem (Kremen, 2005).
Susunan jasa ekosistem dihasilkan oleh interaksi komplek yang saling mempengaruhi dari kekuatan aliran energi matahari dan proses ini berjalan lintas skala ruang waktu (Daily dkk., 1997) lihat gambar 3. Sebagai contoh, proses penguraian limbah melibatkan siklus hidup bakteri seperti halnya siklus unsur-unsur kimia utama misalnya karbon dan nitrogen di planet ini. Proses seperti itu berharga trilyunan dolar setiap tahun. Namun karena sebagian besar dari manfaat itu tidak dihargai di pasar ekonomi, maka perhatian masyarakat terhadap persediaan atau penurunan jasa ekosistem yang dihasilkannya kurang atau bahkan tidak ada. Karena ancaman untuk sistem ini terus meningkat, ada suatu kebutuhan kritis untuk identifikasi dan monitoring dari jasa ekosistem baik secara lokal dan global, serta untuk menyatukan nilai mereka ke dalam proses pengambilan keputusan (Daily dkk., 1997) .
Gambar 3 Interaksi kompleks dalam ekosistem menghasilkan jasa ekosistem
14
Millennium Ecosystem Assessment (MA) (2005), dan Raymond dkk., (2009), mengelompokkan jasa ekosistem menjadi empat kelompok yaitu jasa penyediaan, pengaturan, pendukung dan kultural (Gambar 4). Jasa penyediaan ekosistem meliputi hasil-hasil yang diperoleh dari ekosistem, misalnya makanan, kayu bakar dan serat. Jasa pengaturan misalnya penataan iklim dan kontrol terhadap penyakit serta manfaat non- material misalnya manfaat spiritual atau keindahan. Jasa pendukung merupakan jasa yang diperlukan untuk menghasilkan semua jasa ekosistem lainnya, misalnya jasa pembentukan tanah, siklus nutrien, dan produktivitas primer. Jasa kultural merupakan manfaat non materi dari ekosistem misalnya jasa spiritual dan keagaaman, rekreasi dan ekoturism, seta jasa pendidikan.
Konsep jasa ekosistem telah menjadi model penting untuk menghubungkan fungsi ekosistem kepada kesejahteraan manusia. Pemahaman hubungan ini sangat kritis dalam kontek pengambilan keputusan (Fisher dkk., 2009). Signifikansi konsep ini dibuktikan dalam publikasi Millennium Ecosystem Assessment (MA), suatu pekerjaan monumental yang menyertakan lebih dari 1300 ilmuwan. Salah satu hasil pokok MA adalah penemuan bahwa secara global 15 dari 24 ekosistem diketahui dalam keadaan mengalami kemunduran, dan hal ini bisa jadi mempunyai dampak yang besar dan negatif terhadap masa depan kesejahteraan manusia (MA, 2005).
Penurunan keanekaragaman hayati di seluruh dunia mempengaruhi suplay barang- barang dan jasa ekosistem seperti air, udara bersih, makanan serta lahan subur dan produktif yang mendukung mata pencaharian dan mutu hidup masyarakat (Brooks dan Kennedy, 1994 dalam Daily dkk., 1997). Kemunduran keanekaragaman hayati juga merupakan proses permulaan yang mempengaruhi proses global yang kritis, sebagai contoh hilangnya vegetasi penutup tanah di seluruh dunia adalah faktor utama yang menyokong peningkatan gas CO2 di atmosfir dan berhubungan dengan perubahan iklim (Daily dkk., 1997). Oleh karena itu untuk menjaga fungsi dan jasa ekosistem, perlu dilakukan inventarisisasi ancaman dan tekanan pada ekosistem yaitu meliputi perambahan lahan, perpindahan akses tradisional, invasi spesies yang sangat dominan
15
atau tidak asli, polusi, ketiadaan atau lemahnya manajemen, isolasi habitat dan fragmentasi, serta gangguan perubahan iklim (Treweek, 2005).
Gambar 4. Hubungan antara jasa ekosistem dan komponen-komponen kesejahteraan manusia (Sumber : MA, 2005)
D. Karakteristik Ekosistem Setiap ekosistem adalah unik, walaupun demikian ekosistem memiliki karakteristik dasar yang mencakup iklim, produktivitas, biomasa total, dan jumlah spesies (Dusheck, 2002). Namun menurut Ibrahim (2008), karakteristik ekosistem terdiri dari produktivitas, siklus
16
materi dan aliran energi, serta jumlah varietas dan spesies makhluk hidup. Pendapat lain tentang karakteristik ekosistem menyatakan bahwa karakteristik dasar ekosistem adalah sebagai berikut (Anonim, 2008): 1) Keberlanjutan kehidupan di bumi, merupakan salah satu karakteristik ekosistem, bukan karakteristik organisme atau populasi. 2) Memiliki struktur yang terdiri dari makhluk hidup (komunitas ekologis) dan benda mati. 3) Terdapat proses-proses yang berupa siklus unsur-unsur kimia dan aliran energi 4) Mengalami perubahan (suksesi).
Berdasarkan ketiga pendapat di atas, maka penulis berpendapat bahwa karakteristik ekosistem adalah ciri khas dari suatu ekosistem yang berkaitan dengan struktur dan fungsi ekosistem. Sebagai contoh, hutan hujan tropis mempunyai keanekaragaman spesies dan produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan hutan temperata. Menurut Bradshaw (1992), struktur ekosistem diukur dengan keanekaragaman dan kompleksitas makhluk hidup yang ada, sedangkan fungsi ekosistem, diukur dengan produktivitas biomasa dan siklus nutrien. Pendapat ini berkaitan dengan pendapat Pitchairamu dkk. (2008), yang menyatakan bahwa parameter yang paling penting dari struktur komunitas tumbuhan adalah dominasi spesies, kerapatan individu, kekayaan jenis, dan keanekaragaman jenis. Dengan demikian, jika kita menyatakan bahwa karakteristik ekosistem berkaitan dengan struktur dan fungsi ekosistem, maka pendapat Dusheck, Ibrahim, dan Anonim sudah tercakup dalam struktur dan fungsi ekosistem.
Pengkajian karakteristik ekosistem terkait dengan valuasi dari ekosistem tersebut, karena pada hakekatnya valuasi adalah pemberian nilai ekonomi terhadap barang dan jasa yang dihasilkan ekosistem sesuai dengan klasifikasi jasa ekosistem. Barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu ekosistem dipengaruhi oleh fungsi dari ekosistem tersebut, dan fungsi suatu ekosistem dipengaruhi oleh karakteristik dari ekosistem tersebut. Fisher dkk., (2009), menyatakan bahwa klasifikasi jasa ekosistem harus berbasis pada karakteristik ekosistem yang diminati,
17
Berikut ini akan dikemukakan beberapa karakteristik ekosistem yang penting.
1. Struktur Komunitas Tumbuhan Struktur suatu vegetasi terdiri dari individu-individu yang membentuk tegakan di dalam suatu ruang. Sedangkan komunitas tumbuhan terdiri dari sekelompok tumbuh- tumbuhan yang masing-masing individu mempertahankan sifatnya (Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974). Dalam pengkajian struktur komunitas tumbuhan di suatu habitat, parameter yang paling penting untuk dianalisis adalah dominasi jenis, kerapatan individu, kekayaan jenis, dan keanekaragaman jenis (Pitchairamu dkk., 2008). Dominasi jenis diperoleh dari perhitungan Indeks Nilai Penting (INP), yaitu dengan menjumlahkan kerapatan relatif, kerimbunan relatif, dan frekuensi relatif (Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974). Dominansi merupakan suatu nilai yang menunjukkan peguasaan suatu spesies terhadap komunitas. Kelimpahan dinyatakan dalam jumlah individu dari masing-masing jenis dan kekayaan jenis dinyatakan dalam jumlah jenis di setiap tapak penelitian. Jenis yang paling dominan memiliki nilai penting yang paling tinggi (Krebs, 1985). Sedangkan kekayaan jenis merupakan keanekaragaman jenis yang dinyatakan dalam jumlah jenis per satuan unit area (Barbour dkk., 1999). Keanekaragaman jenis menyatakan suatu ukuran yang menggambarkan variasi jenis tumbuhan dari suatu komunitas yang dipengaruhi oleh jumlah jenis dan kelimpahan relatif dari setiap jenis. Keanekaragaman spesies yang tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas yang tinggi, karena di dalam komunitas itu terjadi interaksi yang komplek antar spesies (Pitchairamu dkk., 2008).
Menurut Kershaw (1973), struktur komunitas tumbuhan terdiri dari 3 komponen, yaitu: 1. Komunitas tumbuhan secara vertikal yang merupakan diagram profil yang melukiskan lapisan pohon, tiang, sapihan, semai dan herba penyusun vegetasi. 2. Sebaran horisontal jenis-jenis penyusun yang menggambarkan letak dari suatu individu terhadap individu lain. 3. Kelimpahan (abudance) setiap jenis dalam suatu komunitas.
18
Sebagai contoh struktur komunitas tumbuhan di hutan tropis terkenal karena pelapisannya. Ini berarti bahwa populasi campuran di dalamnya disusun pada arah vertikal dengan jarak teratur secara kontinyu. Kershaw (1973), menyatakan bahwa stratifikasi hutan tropis dapat dibedakan menjadi 5 lapisan, yaitu : Lapisan A (lapisan pohon-pohon yang tertinggi atau emergent), lapisan B dan C (lapisan pohon-pohon yang berada di bagian tengah atau yang berukuran sedang), lapisan D (lapisan semak dan belukar) dan lapisan E (merupakan lantai hutan). Stratifikasi pohon, perdu, dan herba tersebut merupakan gambaran umum dari struktur komunitas tumbuhan di hutan tropis.
2. Produktivitas Produktivitas adalah kecepatan pembentukan material organik dalam satuan ruang dan waktu. Konsep ini dibedakan atas produktivitas primer dan produktivitas sekunder. Produktivitas primer merupakan kecepatan pembentukan material organik pada tumbuhan sebagai hasil fotosintesis, sedangkan produktivitas sekunder adalah kecepatan pembentukan material organik pada tingkatan konsumen dalam satuan ruang dan waktu (Stiling, 1996). Hasil dari fotosintesis ini kemudian dikonversikan tumbuhan menjadi biomasa (Barbour dkk., 1996). Biomassa mengacu pada bahan organik hidup, yang dinyatakan sebagai massa kering per unit area (ton/ha). Biomassa adalah fungsi langsung dari produktivitas, dan keduanya dibatasi oleh faktor ekologis yang sama, seperti kelembaban, temperatur dan ketersediaan nutrien. Biomasa vegetasi hutan terutama ditentukan oleh biomasa pohon (Brown, 1997). Namun Keeling, dan Phillips (2007), menyatakan bahwa tumbuh-tumbuhan understorey (vegetasi bawah), epifit, dan tumbuhan pemanjat juga menyokong kepada total biomasa hutan. Akumulasi biomasa tanaman dan produktivitas merupakan faktor penentu penting dalam keseimbangan karbon suatu ekosistem
Menurut Whittaker dan Likens (1975), produktivitas primer bersih hutan hujan tropis adalah yang tertinggi dibanding dengan wilayah lain, yaitu mencapai 1000-3500 g/m2/tahun. Produktivitas terendah ditemukan di daerah gurun, yaitu sebesar 10-250 g/m2/tahun (Tabel 2). Produktivitas ekosistem merupakan parameter ekologi yang sangat
19
penting, karena merupakan suatu indeks yang mengintegrasikan pengaruh kumulatif dari banyak proses dan interaksi yang berlangsung simultan di dalam ekosistem. Jika produktivitas pada suatu ekosistem hanya berubah sedikit dalam jangka waktu yang lama maka hal ini menandakan bahwa kondisi lingkungan stabil. Akan tetapi jika terjadi perubahan yang hebat, maka hal ini menunjukkan telah terjadi perubahan lingkungan yang nyata atau terjadi perubahan yang penting dalam interaksi di antara organisme- organisme yang menyusun ekosistem (Jordan, 1985 dalam Wiharto, 2003). Hasil dari banyak studi eksperimental yang dilakukan di Eropa dan Amerika Utara menunjukkan bahwa produktivitas ekosistem meningkat dengan meningkatnya kekayaan spesies (Naeem dkk., 1999). Menurut Whittaker dan Likens (1975), beberapa faktor yang mempengaruhi produktivitas vegetasi di wilayah hutan tropis adalah : (a) suhu; (b) curah hujan; (c) interaksi antara suhu dan curah hujan.; (d) produktivitas serasah; (e) tahapan suksesi komunitas; (f) edafik; (g) herbivora, dan (h) sistem konservasi hara yang sangat ketat.
Tabel 2. Produktivitas Primer Bersih (NPP) berbagai tipe ekosistem
No. Tipe Ekosistem Kisaran Normal NPP (g/m2/tahun) 1. Hutan Hujan Tropis 1000 - 3500 2. Hutan Musim Tropis 1000 - 2500 3. Hutan Iklim Sedang 3.1 Selalu hijau 3.2 Luruh 600 – 2500 600 - 2500 4. Hutan Boreal 400 - 2000 5. Savana 200 - 2000 6. Padang Rumput Iklim Sedang 200 - 1500 7. Tundra dan Alpin 10 - 400 8. Gurun dan Semak Gurun 10 - 250
Sumber: Whittaker dan Likens (1975).
20
3. Stok/Cadangan Karbon Tidak terkendalinya jumlah gas CO2 di atmosfer, bersama-sama dengan gas CFC, metana dan gas-gas rumah kaca lainnya, berpotensi meningkatkan suhu atmosfer bumi yang dapat menimbulkan pemanasan bumi dan perubahan iklim. Menurut IPPC (Intergovermental Panel on Climate Change), emisi CO2 antropogenik total adalah 7,1 Gt (giga ton) karbon/tahun yang terdiri dari 5,5 Gt dari pembakaran bahan bakar fosil dan produksi semen serta 1,6 Gt dari perubahan tata guna lahan. Diketahui bahwa 70% dari gas rumah kaca terdiri dari CO2 (Jallow, dkk., 2007).
Hutan merupakan salah satu alat pengendalian pemanasan bumi, yaitu dengan cara memfiksasi CO2 dan menyimpannya dalam jaringan tumbuhan selama berfotosintesis. Hutan juga mengeluarkan CO2 ke atmosfer selama melakukan respirasi dan dekomposisi materi tumbuhan yang mati (Ryan, 2004). Laju penyerapan karbon terbesar terjadi pada hutan muda dan menurun pada hutan dewasa. Jumlah kandungan karbon di hutan dapat berubah dari waktu ke waktu, yang disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut (Ryan, 2004): a. variasi faktor iklim, misalnya temperatur dan curah hujan; b. perkembangan alam atau dinamika suksesi vegetasi; c. gangguan seperti kebakaran, badai, hama dan serangan penyakit
Kerusakan hutan yang disebabkan aktivitas manusia turut berkontribusi terhadap cadangan karbon. Cadangan karbon di dalam biomassa hutan pada tingkat global berkurang mencapai angka 5,5 persen pada kurun waktu 1990 – 2005 (Anonim, 2008). Secara umum trend cadangan karbon mengikuti kecenderungan luasan areal hutan dan ketersediaan sumberdaya hutan. Cadangan karbon di dunia meningkat di wilayah Eropa dan Amerika Utara dan menurun di wilayah tropika (FAO, 2007). Hutan tropika menyumbang emisi CO2 sebesar 1,6 milyar ton per tahun. Seperti dilansir oleh Stem Review (Koran Tempo, 24 Oktober 2007), bahwa deforestasi di negara-negara berkembang (umumnya wilayah tropika) menyumbang emisi CO2 sekitar 20 persen dari emisi global.
21
Dari hasil inventarisasi gas-gas rumah kaca di Indonesia dengan menggunakan metode IPCC 1996, diketahui bahwa pada tahun 1994 emisi total CO2 adalah 748,607 Gg (Giga gram), CH4 sebanyak 6,409 Gg, N2O sekitar 61 Gg, NOX sebanyak 928 Gg dan CO sebanyak 11,966 Gg. Adapun penyerapan CO2 oleh hutan kurang lebih sebanyak 364,726 Gg, dengan demikian untuk tahun 1994 tingkat emisi CO2 di Indonesia sudah lebih tinggi dari tingkat penyerapannya. Indonesia sudah menjadi net emitter, sekitar 383,881 Gg pada tahun 1994. Hasil perhitungan sebelumnya, pada tahun 1990, Indonesia masih sebagai net sink atau tingkat penyerapan lebih tinggi dari tingkat emisi (Widjaja, 2002 dalam Anonim, 2008).
Hal ini terjadi karena tingginya tingkat kerusakan hutan di Indonesia (sekitar 2 juta hektar hutan setiap tahun, Holmes, 2000 dalam Emerton, 2003). Dengan adanya deforestasi, maka peranan hutan dalam menyerap CO2 akan mengalami penurunan. Di samping itu deforestasi melalui kebakaran hutan juga menyebabkan timbulnya emisi/pelepasan CO2 ke udara. Penelitian di beberapa tempat menunjukkan adanya dampak kebakaran terhadap emisi karbon di udara. Kebakaran tahun 1998 yang didukung Elnino tahun 1997/1998 telah merugikan negara sebesar 10,066 triliun rupiah setelah lahannya terbakar seluas 507.239,5 ha. Kebakaran hutan yang luas yang terjadi tahun 1997 telah melepaskan CO2 ke udara sebesar 0,81 – 2,57 Gt dimana sebagian besar berasal dari lahan gambut (Page, 2002).
Hasil pendugaan emisi yang dilakukan di lahan gambut Taman Nasional Berbak Sumatera menyebutkan bahwa di areal tersebut telah terdapat emisi karbon sebesar 7 juta ton (Murdiarso dkk., 2002). Bahkan, menurut laporan hasil penelitian Wetland International dan Delft Hydraulics pada awal November 2006, Indonesia telah ditempatkan sebagai negara penghasil emisi CO2 terbesar ketiga dunia, setelah Amerika Serikat dan China. Memasukkan unsur hutan dalam deklarasi jumlah emisi CO2 suatu negara adalah satu hal yang tidak lazim, karena kebakaran hutan selama ini dianggap sebagai bencana alam. Terlepas pro-kontra atas validitas penelitian yang dilakukan oleh kedua lembaga tersebut, harus diakui bahwa kebakaran di Indonesia telah
22
menyumbangkan karbon ke udara (Anonim, 2008). Dengan melihat potensi CO2 sebagai penyumbang terbesar dalam proses pemanasan global, maka emisi CO2 harus dikendalikan agar tidak terus meningkat. Tidak heran jika perhatian dunia internasional tentang pengaruh peningkatan konsentrasi gas rumah kaca, diantaranya karbon dioksida, terhadap iklim global menyebabkan difokuskannya kebijakan untuk memperhatikan dinamika karbon di dalam vegetasi terestrial (Ryan, 2004).
Carbon trade (perdagangan karbon) merupakan peluang bagi negara-negara yang masih memiliki kawasan hutan, untuk mendapatkan keuntungan dari kemampuan hutan menyerap emisi karbon yang dihasilkan dari kegiatan industri negara-negara maju. Beberapa negara pemilik hutan, seperti Brasil dan Kosta Rika, sudah menjual kemampuan hutannya itu melalui perdagangan karbon. Hasil yang diperoleh bernilai jutaan dolar AS per tahun, yang digunakan untuk membiayai program pelestarian hutan. Di Indonesia, usaha carbon trade telah dirintis oleh PT Global Eco Rescue dengan menggandeng Kabupaten Malinau Kaltim. Di daerah tersebut hutan yang dijadikan proyek percontohan kegiatan itu seluas 325.000 hektar. Jumlah hutan di kawasan konservasi Indonesia mencapai lebih dari 28 juta hektar dan kalau pasar karbon bisa dijalankan, maka Indonesia akan mendapatkan pemasukan yang cukup besar. Saat ini, pemerintah sedang merancang Peraturan Pemerintah tentang pemanfaatan jasa lingkungan hutan di kawasan konservasi, yaitu mencakup jasa lingkungan air, jasa lingkungan keanekaragaman hayati, jasa lingkungan karbon, dan jasa lingkungan ekowisata. Berikut ini adalah rancangan pemanfaatan jasa lingkungan karbon (perdagangan karbon) melalui aforestasi dan reforestasi dalam kerangka MPB (Manajemen Pembangunan Bersih) (Danny, 2008) : a. Aforestasi, penghutanan pada lahan yang selama 50 tahun atau lebih merupakan lahan bukan hutan, sedang reforestasi penghutanan pada lahan yang per 31 Desember 1989 bukan hutan. b. Lahan MPB luas minimal 0,25 Ha, presentasi tajuk minimal 30 % dan pertumbuhan akhir ketinggian minimal 5 m. c. Aforestasi dan reforestasi dalam kerangka MPB dapat dilakukan di kawasan hutan, hutan adat, tanah negara, dan tanah milik. Persyaratan pasal 5, 6, 7, dan 8.
23
d. Pengembang proyek adalah gabungan antara investor negara Annex I dengan BUMN, BUMD, BUMS, koperasi, dan perorangan. e. Pengembang proyek mengajukan usulan proyek kepada Menteri Kehutanan.
Dari rancangan peraturan tersebut jelas terlihat bahwa usaha perdagangan karbon tidak selalu harus mencakup wilayah hutan yang luas, tetapi juga dapat mencakup luasan hutan yang kecil. Pada proyek skala kecil rata-rata stok karbon akan dihitung berdasarkan dua aturan berikut (Schlamadinger, dkk., 2004). Aturan 1: Pada umumnya stok karbon rata-rata dihitung sebagai rata-rata stok karbon pada satu rotasi ganda. Jika ada dua (atau lebih) rotasi di dalam satu proyek, maka rata- rata harus dihitung di atas semua rotasi dalam perioda proyek. Rotasi yang sebagian berada di luar proyek akhir adalah tidak termasuk. Contoh. Jika jangka waktu proyek adalah 30 tahun, dan perioda rotasi adalah 12 tahun, maka stok karbon rata-rata dihitung pada 24 tahun pertama. Bagian ujung proyek tidak termasuk perioda rotasi sehingga akhir proyek berhubungan dengan akhir dari satu perioda rotasi.
Aturan 2: Kapan saja suatu proyek dimulai, maka rata-rata stok karbon harus dikalkulasi ulang, sebagai contoh, ketika satu angsuran baru suatu proyek 20 tahun dimulai, rata-rata stok karbon harus dikalkulasi ulang untuk tahun sisanya. Waktu rata-rata stok karbon akan ditentukan dan dilaporkan sebagai bagian dari dokumen desain proyek, dan harus menggunakan informasi yang diverifikasi serta berbasis pada asumsi tentang spesies pohon, kondisi iklim, jenis tanah, rejim manajemen, dan lain-lain. Monitoring dilakukan untuk menentukan apakah variabel yang digunakan untuk mengkalkulasi rata-rata stok karbon adalah tepat, atau apakah penyesuaian harus dibuat untuk memprediksi rata-rata stok karbon tersebut (Schlamadinger, dkk., 2004).
E. Gangguan Ekosistem Gangguan adalah peristiwa apapun yang mengganggu ekosistem, komunitas, atau struktur populasi dan mengubah sumber daya, ketersediaan substrat, atau lingkungan fisik (Saveland, 2003). Istilah "kerusakan" digunakan untuk suatu kondisi yang lebih luas mengacu pada perubahan fisik lingkungan yang kurang baik dan mempengaruhi hidup
24
manusia dan kegiatan ekonomi, juga perkembangan makhluk hidup lainnya. Menurut Bishop (1999), kerusakan lingkungan dapat didefinisikan sebagai “hilangnya modal alam”.
Pengaruh gangguan terhadap struktur komunitas adalah menyebabkan perubahan dalam komposisi spesies dan kelimpahan relatif (Fukami, 2001, dan Saveland, 2003). Pengaruh besar dari gangguan dalam dinamika ekosistem adalah terjadinya perubahan dalam jalur suksesi. Sebagai konsekwensinya, dominasi pada suatu lokasi dan beberapa spesies individu dapat berubah dan keanekaragaman berubah. Gangguan juga dapat menyebabkan hilangnya suatu spesies (Saveland, 2003).
Menurut Mclaren (2006), komposisi spesies mungkin memainkan peran penting dalam menentukan fungsi ekosistem karena setiap spesies memiliki ciri-ciri tertentu. Efek dari hilangnya suatu spesies terhadap ekosistem adalah menyebabkan hilangnya efek langsung organisme terhadap fungsi ekosistem dan respon organisme lain terhadap hilangnya spesies tersebut. Efek dan respon ini terjadi melalui banyak mekanisme. Sebagai contoh, spesies bisa secara langsung mempengaruhi nutrien tanah dan kandungan air melalui variasi massa akar. Selain itu, spesies tertentu bisa mengubah komposisi komunitas tumbuhan melalui kemampuan kompetitif yang bervariasi dan pengaruh fasilitasi, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi fungsi ekosistem. Komposisi spesies sering lebih penting dibandingkan dengan jumlah spesies dalam mempengaruhi proses ekosistem. Dengan begitu, pemeliharaan komposisi spesies dalam suatu komunitas, adalah kritis dalam pemeliharaan jasa ekosistem (Saveland, 2003).
Identifikasi ciri kunci yang mempengaruhi fungsi ekosistem tertentu adalah satu tahap penting dalam pemahaman bagaimana keanekaragaman hayati mempengaruhi fungsi ekosistem. Ciri tertentu yang bertanggungjawab untuk mengatur fungsi suatu ekosistem, pengaruhnya akan bervariasi tergantung pada banyak faktor termasuk temperatur, kondisi tanah atau air, curah hujan, ketersediaan nutrien, dan waktu sejak terjadinya gangguan. Dalam banyak kasus, ciri penting yang menentukan suatu fungsi ekosistem mungkin merupakan hasil bersama di antara berbagai spesies. Sebagai contoh, kandungan
25
nitrogen di suatu tempat tergantung pada banyak faktor tidak hanya pada ada atau tidaknya mikroba pengikat nitrogen (Naeem dkk., 2003).
Ciri fungsional dapat didikelompokkan ke dalam efek ciri fungsional (efek ciri) dan respon ciri fungsional (respon ciri) (Hooper dkk., 2002; Lavorel dan Garnier 2002). Efek ciri berperan untuk fungsi yang sedang diukur. Sebagai contoh, total nitrogen tanah adalah salah satu fungsi ekosistem, maka ciri komunitas mikroba tanah dihubungkan dengan denitrifikasi, nitrifikasi, amonifikasi, atau bagian apapun dari siklus nitrogen yang merepresentasikan efek ciri. Sedangkan respon ciri, adalah respon spesies kepada satu perubahan lingkungan. Sebagai contoh, jika terjadi musim kering, ciri yang berhubungan dengan toleransi musim kering atau kepekaan mikroba tanah terhadap penurunan kelembaban tanah adalah respon ciri. Berkenaan dengan penelitian BEF (Biodiversity and Ecosystem Functioning), respon ciri fungsional nampaknya merupakan faktor terpenting dalam menentukan stabilitas dan resiliensi biota dalam menghadapi gangguan.
Gangguan biasanya dipandang secara negatif sebagai pengacau keseimbangan ekosistem dan suatu penghalang untuk mengakses sumber daya yang jika tidak terjadi gangguan akan bersifat tersedia. Namun walaupun gangguan ekosistem akan mengganggu harapan ekonomi-sosial, perkembangan ilmu pengetahuan yang berdasar pada teori non-equilibrium menunjukkan bahwa gangguan adalah proses ekologis penting. Pada beberapa tingkatan intensitas dan kecenderungan waktu tertentu diperlukan gangguan tertentu untuk keberlanjutan dan produktivitas jangka panjang sebagian besar atau bahkan semua ekosistem (Saveland, 2003).
Sebenarnya, ekosistem dan proses yang mengaturnya secara terus menerus berubah (Saveland, 2003). Ketika terjadi suatu gangguan, maka efek awal dari gangguan tersebut adalah populasi dan ekosistem memasuki satu periode waktu untuk perbaikan serta perubahan. Perubahan yang terjadi tergantung pada sistem resiliensi yang dimiliki ekosistem tersebut. Sistem resiliensi dapat diukur dari kecepatan dan arah perubahan. Ekosistem yang memiliki sistem resiliensi tinggi akan berubah dengan cepat ke arah
26
suatu kondisi yang serupa dengan kondisi awal. Sedangkan ekosistem yang sistem resiliensinya rendah, laju perubahan akan lebih lambat dan dapat berubah ke arah suatu kondisi akhir yang baru (Lugo dan Waide, 1993).
Ekosistem merupakan sistem dinamis. Kesehatan ekosistem jangka panjang dihubungkan dengan gangguan (Saveland, 2003). Adanya gangguan dan recovery (pemulihan) dalam suatu ekosistem adalah mekanisme penting untuk arus energi dan siklus nutrien serta untuk pemeliharaan umur, species, genetik, keaneka ragaman struktural, dan semua atribut kesehatan ekosistem. Ekosistem sehat adalah ekosistem yang struktur dan fungsinya menyebabkan terpeliharanya kondisi keaneka ragaman hayati yang diinginkan, integritas biotik, dan proses ekologis dari waktu ke waktu (Kaufmann dkk. 1994). Gangguan merupakan satu komponen penting dalam dinamika ekosistem dan variasi didalam intensitas dan frekwensi gangguan bisa mempengaruhi struktur dan fungsi ekosistem (Hobbs, 1992). Banyak komunitas dan spesies tumbuhan tergantung pada gangguan, terutama untuk regenerasinya (Pickett dan White 1985). Oleh karena itu suatu kawasan konservasi misalnya cagar alam, ukurannya harus besar untuk memungkinkan rejim gangguan beroperasi secara alami, dan mendukung mosaik suatu fragmen habitat dalam tingkat gangguan yang berbeda, pemulihan suksesi, dan pematangan komunitas (Hobbs, 1992). Kesadaran dan pemahaman tentang gangguan ekologi dan perannya dalam dinamika ekosistem, serta kemampuan untuk mengkomunikasikan informasi tentang gangguan tersebut, adalah penting untuk pemahaman potensi ekosistem dan konsekwensi aneka pilihan pengelolaan ekosistem (Saveland, 2003).
27
BAB III CONTOH METODE EKOLOGI
A. Analisis Gugus (Cluster Analysis)
Analisis gugus bertujuan untuk menyederhanakan data dan menyajikannya dalam bentuk grafik. Langkah pertama dalam analisis gugus adalah menyatakan persamaan antara dua tegakan dalam suatu angka yang disebut koefisien komunitas (Community coefficient = CC) atau disebut juga sebagai indeks persamaan. Ada beberapa cara untuk menghitung koefisien komunitas, seperti terlihat pada tabel 1.
Tabel 1. Empat metode untuk menghitung koefisien komunitas (CC) dari data kehadiran dan % kerimbunan.
Spesies Data Kehadiran (frekwensi) dan % Kerimbunan Tegakan (kuadrat) A Tegakan B No. 1 No.2 No.3 No.4 No. 5 N0. 6 No. 7 10 4 - - 32 15 2 20 12 7 15 15 - 1 Total % Kerimbunan 64 70 Metode Penghitungan Rumus Penghitungan Koefisien Komunitas Jaccard, berdasarkan frekwensi
Jaccard, berdasarkan kerimbunan
Sorensen, berdasarkan frekwensi
Sorensen, yang dihargai kerimbunan
C x 100 = 4 x 100 =
A + B – C 5 + 6 – 4
MC x 100 = (10 + 4 + 15 + 1) x 100 = MA + MB 64 + 70
2C x 100 = 2 (4) x 100 = A + B 6 + 6
2 MC x 100 = 2 (10 + 4 + 15 + 1) x 100 = MA + MB 64 + 70
57,143
22
75
45
28
Catatan: A = Jumlah total spesies di tegakan A B = Jumlah total spesies di tegakan B C = Jumlah total spesies yang ada di tegakan A dan B MA = % total kerimbunan spesies di tegakan A MB = % total kerimbunan spesies di tegakan B MC = % total kerimbunan spesies yang ada di tegakan A dan B , yang digunakan adalah angka kerimbunan terendah dari setiap spesies.
Pada dasarnya semua rumus menunjukkan jumlah relatif spesies yang bersama sama dalam dua tegakan atau kuadrat. Nilai CC 100 menunjukkan kesamaan 100% (semua jenis yang ada di antara dua tegakan sama), sedangkan nilai CC 0 menunjukkan perbedaan 100% (tidak ada spesies yang sama di antara dua tegakan tersebut). Hasil analisa gugus adalah suatu dendogram seperti yang ditunjukkan gambar 5.
Setelah nilai CC dihitung untuk setiap pasangan tegakan, selanjutnya dihitung indeks perbedaan (index of dissimilarity = ID) antara setiap pasangan tegakan tersebut. Setelah itu dua tegakan dengan CC yang paling tinggi (persamaan terdekat) atau dengan nilai ID paling rendah diplot pada grafik sebagai garis tegak, yang dihubungkan oleh suatu garis mendatar pada nilai ID. Dalam Gambar 1, tegakan 1 dan 2 mempunyai nilai ID yang paling rendah, 12,5 dan mereka dihubungkan pada suatu level. Sekarang ada dua tegakan yang disatukan ke dalam sesuatu yang baru, tiruan, tegakan level dua, dan selanjutnya nilai ID dihitung lagi seluruhnya. Dalam penghitungan yang kedua, dihasilkan nilai ID terendah yaitu 31,25 untuk tegakan (1&2) dan 6. Mereka dihubungkan, nilai CC dihitung kembali, dan seterusnya sampai semua tegakan dihubungkan. Untuk lebih jelasnya dikemukakan langkah-langkah analisis gugus untuk data berikut ini.
29
Tabel 3. Data keberadaan spesies di tujuh plot di Hutan Kawah Putih pasca kebakaran th.1996
No.
Spesies Plot 1 2 3 4 5 6 7 1. Pinus merkusii - 2. Schima walichii - - 3. Litsea cubeba - - - 4. Homalanthus populnea - - - - 5. Caliandra cathartica - - - 6. Althingia sp. - - - 7. Acacia sp. - - - 8. Debregoasia sp. -
Langkah 1 : Menghitung nilai koefisien komunitas (indeks persamaan)
Rumus yang digunakan adalah CC = C x 100% (JACCARD)
A + B – C
Contoh perhitungan antara pasangan plot 1 dengan plot 2
CC (1,2) = 7 x 100% = 87,5% 8 + 7 – 7 Selanjutnya semua pasangan dihitung indeks kesamaannya seperti terlihat pada tabel 4.
Tabel 4. Daftar nilai koefisien komunitas (CC) antar pasangan plot Plot Plot 1 2 3 4 5 6 2 87,5 3 62,5 71,43 4 62,5 50 66,67 5 25 28,57 0 0 6 75 62,5 37,5 57,14 33,33 7 37,5 42,85 60 33,33 0 28,57
30
Langkah 2 : Menghitung Indeks Perbedaan (ID)
Rumus yang digunakan adalah ID = 100 - CC
Contoh perhitungan antara pasangan plot 1 dengan plot 2
ID = 100 – 87,5 = 12,5
Setelah itu semua pasangan dihitung indeks perbedaannya seperti terlihat pada tabel 5.
Tabel 5. Daftar nilai Indeks Perbedaan (ID) antar pasangan plot PLOT PLOT 1 2 3 4 5 6 2 12,5 3 37,5 28,57 4 75 50 33,33 5 75 71,43 100 100 6 25 37,5 62,5 42,86 66,67 7 62,5 57,15 40 66,67 100 71,43
Langkah 3 : Pengelompokkan
Mula-mula tiap plot dipandang sebagai satu kelompok. Selanjutnya gabungkan dua plot yang paling serupa/mirip. Plot yang paling serupa adalah plot yang memiliki nilai CC yang paling tinggi atau nilai ID yang paling rendah. Dari tabel 4 terlihat bahwa pasangan plot yang memiliki nilai ID paling rendah adalah plot 1 dengan plot 2, yaitu 12,5. Langkah-langkah pengelompokkannya seperti dibawah ini. a. Plot (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) b. Gabungkan plot 1 dengan 2, (12) (3) (4) (5) (6) (7) Selanjutnya hitung kembali nilai ID setiap pasangan plot seluruhnya.
Contoh penghitungan pasangan plot (1&2) dengan plot 3
3(12) = 1/2 ( e 1 3 + e 2 3) = 1/2 ( 37,5 + 28,57) = 33,04
31
Keterangan
e 1 3 adalah nilai ID pasangan plot 1 dengan plot 2 e 2 3 adalah nilai ID pasangan plot 2 dengan plot 3
Dari penghitungan kedua diperoleh nilai ID yang ditunjukkan pada tabel konstansi 6.
Tabel 6. Nilai ID dari perhitungan kedua PLOT PLOT 3 4 5 6 7 4 33,33 5 100 100 6 42,86 42,86 66,67 7 66,67 66,67 100 71,43 (1&2) 33,04 43,75 73,22 31,25 59,83
Dari penghitungan kedua nilai ID terkecil diperoleh dari pasangan plot (1&2) dengan plot 6, jadi yang digabungkan sekarang adalah plot (1&2) dengan plot 6.
c. Gabungkan (1&2) dengan (6) (4) (5) (7) (126) hitung kembali nilai ID setiap pasangan plot seluruhnya.
Contoh penghitungan pasangan plot (1&2&6) dengan plot 4
4 (126) = 1/3 ( e 1 4 + e 2 4 + e 6 4 ) = 1/3 ( 37,5 + 50 + 42,86) = 43,79 Dari penghitungan ketiga diperoleh nilai ID yang ditunjukkan pada tabel konstansi 7.
Tabel 7. Nilai ID dari perhitungan ketiga PLOT PLOT 3 4 5 7 4 33,33 5 100 100 7 66,67 66,67 100 (126) 42,8 43,79 59,72 63,69
32
Dari tabel 6 terlihat bahwa nilai ID terkecil adalah 33,33 dari pasangan plot 3 dengan 4. Selanjutnya hubungkan plot 3 dengan plot 4 kemudian cari kembali nilai ID seluruhnya.
d. Gabungkan (3) dengan (4) (5) (7) (126) (34)
Contoh perhitungan pasangan plot (3&4) dengan plot (126)
(126) (34) = 1/6 ( e 1 3 + e 1 4 + e 2 3 + e 2 4 + e 6 3 + e 6 4) = 1/6 ( 37,5 + 37,5 + 28,57 + 50 + 62,5 + 42,86 ) = 43,16 Nilai ID dari perhitungan keempat ditunjukkan pada tabel 8.
Tabel 8. Nilai ID dari perhitungan keempat
PLOT
PLOT (34) 5 7 5 50 7 53,34 100 (126) 43,16 59,72 63,69
e. Selanjutnya gabungkan (126) dengan (34) (5) (7) (12634) 5 (12634) = 1/5 ( 75 + 71,43 + 100 + 100 + 66,67) = 82,62 7 (12634) = 1/5 ( 62,5 + 57,15 + 40 + 66,67 + 71,43) = 59,55
Tabel 9 Nilai ID dari perhitungan kelima PLOT 5 7 (12634) 82,62 59,55
f. Akhirnya gabungkan (126347) dengan 5 5 (126347) = 1/6 (75 + 71,43 + 66,67 + 100 + 100 + 100)
33
4. Penyusunan Kembali Urutan Objek (Plot) Berdasarkan tabel konstansi 4 s.d. 8 diketahui bahwa pasangan plot yang memiliki nilai ID terendah pada setiap perhitungan adalah sebagai berikut: Pasangan (1) dengan (2) yaitu 12,5 Pasangan (12) dengan (6) yaitu 31,25 Pasangan (3) dengan (4) yaitu 33,33 Pasangan (126) dengan (34) yaitu 43,16 Pasangan (12634) dengan (7) yaitu 59,55 Pasangan (126347) dengan (5) yaitu 85,52 Berdasarkan data tersebut maka urutan plot dari yang paling mirip sampai dengan yang paling tidak mirip adalah (1) (2) (6) (3) (4) (7) (5) dengan dendogram (diagram pohon) seperti terlihat pada gambar 5.
0 1 2 6 3 4 7 5 Plot Gambar 5. Suatu dendrogram yang dihasilkan dari analisis gugus 7 tegakan. 80
100
70
60 50 40 30 20 10
Nilai ID
90
34
Suatu dendrogram analisis gugus dapat digunakan untuk klasifikasi jika peneliti memilih beberapa nilai-ambang yang menggambarkan asosiasi. Tegakan dari satu asosiasi sering ditetapkan dengan nilai CC di atas 50.
Keuntungan analisis gugus dengan diagram pohon di atas adalah bahwa proses klasifikasi dapat terukur ketika beberapa nilai-ambang dipilih sebagai batas yang lebih rendah bagi suatu asosiasi. Hubungan dari asosiasi yang berbeda juga dapat terukur. Suatu program komputer (CLUSTAN) telah dikembangkan untuk teknik analisis gugus ini (Wishart 1987). Kent dan Coker ( 1992) meninjau ulang program ini dan beberapa teknik clustering lainnya.
Program komputer lain telah dikembangkan untuk menghasilkan diagram cluster, salah satu yang semakin populer antar ilmuwan vegetasi adalah TWINSPAN (Two-Way Indicator Species Analysis = Dua cara analisis spesies indikator). TWINSPAN adalah suatu polythetic, prosedur klasifikasi yang bersifat memecah belah/divisive (Hill 1979B, Gauch dan Whittaker 1981,Gauch 1982). Polythetic artinya bahwa klasifikasi dan penempatan kelompok didasarkan pada semua data spesies (sebagai lawan monothetic). Metode divisive adalah suatu metode yang dimulai dengan total populasi individu, kemudian membagi mereka ke dalam kelompok yang lebih kecil dan semakin lebih kecil lagi (Kent dan Coker 1992). Tentu saja, TWINSPAN mulai dengan semua sampel bersama-sama di dalam satu gugus tunggal dan kemudian secara hirarkis membagi sampel itu berturut-turut ke dalam gugus yang lebih kecil dan lebih kecil. Hasil akhirnya adalah suatu dendrogram dari gugus dengan masing-masing gugus berisi satu sampai beberapa sampel. TWINSPAN sekarang dapat dilakukan secara pribadi dengan perangkat lunak dari paket Cornell Ecology Programs. Program itu telah secara luas digunakan pada berbagai skala ruang. Sebagai contoh, Monk dkk. (1989) menggunakan TWINSPAN untuk mengklasifikasikan hutan desidua di Amerika Utara bagian timur. Young dan Peacock (1992) menggunakan TWINSPAN untuk menguji validitas dari peta vegetasi gunung Kenya di Afrika Timur. Suatu modifikasi metode tersebut (disebut COINSPAN), telah dikembangkan baru-baru ini oleh Carleton dkk. ( 1996).
35
BAB IV EVALUASI
1. Konsep manakah di bawah ini yang menggambarkan satu kelompok alami, terdiri dari organisme yang berbeda, menghuni suatu lingkungan, saling berinteraksi satu sama lain melalui hubungan makan-dimakan, dan relatif independen dari kelompok lain? A. Komunitas B. Relung C. Populasi D. Biosfir E. Ekosistem 2. Faktor apakah di bawah ini yang merupakan faktor edafik dalam ekologi hutan? A. Tingkat keterbukaan hutan terhadap angin B. Populasi tawon kayu C. Penebangan pohn oleh manusia D. Udara yang terkandung dalam tanah E. Pertumbuhan parasitik dari jamur 3. Stok ikan haring di Laut Utara sedang menurun. Tindakan apakah yang paling tidak memungkinkan untuk mendorong ke arah peningkatan populasi ikan haring? A. Mengurangi intensitas penangkapan ikan B. Pengaturan quota C. Mengurangi ukuran jaring D. Mengurangi waktu musim penagkapan ikan E. Menangkap ikan dewasa dari pada juvenil.
4. Perhatikan diagram dan tabel di bawah ini. Berapa total jumlah energi yang tersedia untuk burung predator?
Rantai makanan dan tabel yang menunjukkan aliran energi dalam suatu komunitas pohon
Pohon ulat kumbang predator insektivora burung predator
Respirasi
Spesies π Jumlah/m2 π laju Respirasi/J m2 π produktivitas bersih / J m2 Burung Predator Kumbang Predator Pohon Insektivora Ulat 1,6 x 10-5 60 3 x 103 4 x 10-1 10-3 21 x 102 12,5 x 10-5 - 12,5 x 103 30 x 102 12,5 12,5 x 103 50 x 105 125 35 x 103
36
5. Organochlorin adalah pestisida kuat. Pernyataan yang mana berikut ini yang benar tentang organochlorin? 1. DDT, dieldrin dan aldrin adalah organochlorin 2. Organochlorin adalah pestisida yang spektrumnya sempit atau hanya mempengaruhi organisme target 3. Organochlorin sepenuhnya non-biodegradable 4. Mereka dapat mematikan pada level karnivora puncak. A. 1,2&3 B. 2,3&4 C. 1,3&4 D. 1,2&4 E. semua benar
6. Fenomena manakah di bawah ini yang sesuai dipelajari dengan metode transect garis? A. Ukuran populasi keong dalam suatu kayu B. Efek penggembalaan terhadap vegetasi di suatu padang rumput C. Kelimpahan relatif spesies rumput liar di suatu lahan D. Efek pupuk terhadap rumput di halaman E. Distribusi organisme di pantai
7. Proporsi energi kimia yang tersimpan dalam rumput yang dikonversi menjadi jaringan baru oleh sapi jantan muda yang sedang tumbuh dan berkembang adalah .... A. antara 100% dan 50% B. antara 50% dan 10% C. antara 10% dan 1% D. antara 1% dan 0.1% E. antara 0.1% dan 0.01% 8. Lima sampel tanah segar seberat 100 g dianalisis untuk mencari prosentase air dan bahan organik. Masing-masing contoh dikeringkan dalam oven pada suhu 1000 C selama satu minggu, Selanjutnya dipanaskan kembali pada suhu 3500 C sampai diperoleh massa yang tetap. Hasilnya diperlihatkan dalam tabel berkut
Sampel Tanah Berat setelah dikeringkan (100C) Berat setelah dipanaskan (350C) A 75 69 B 70 67 C 65 53 D 63 54 E 58 51
37
Berapakah prosentase air dalam tanah yang kandungan materi organiknya paling rendah? A. 25% B. 30% C. 35% D. 37% E. 42%
9. Dalam siklus nitrogen, bakteri nitrifikasi mengkonversi .... A. ammonium menjadi nitrit dan nitrat B. nitrogen atmosfir menjadi ammonium C. nitrogen atmosfir menjadi nitrat D. nitrat menjadi nitrogen atmosfir E. nitrat menjadi ammonium
10. Di dalam komunitas alami yang kompleks, organisme yang makanannya diperoleh dari tanaman dalam jumlah tahapan yang sama dinyatakan memiliki tingkat tropik yang sama. Pernyataan manakah yang tepat? A. Hanya satu spesies dapat menduduki satu tingkatan tropik B. Satu spesies dapat menduduki lebih dari satu tingkatan tropik C. Karnivora (pemakan daging) adalah selalu terdapat di tingkatan tropik kedua D. Selalu terdapat empat tingkatan tropik dalam satu rantai makanan. E. Biomas setiap tingkatan tropik tetap. 11. Tabel berikut memperlihatkan jumlah dua spesies bernakel yang terdapat pada bebatuan pantai.
Faktor apakah yang membatasi distribusi bernakel? A. Balanus memerlukan lebih banyak cahaya dibanding Chthamalus B. Balanus berkamuflase lebih baik dibanding Chthamalus C. Balanus mempunyai kapasitas reproduksi yang lebih besar dibanding Chthamalus D. Balanus lebih tidak toleran terhadap kekeringan dibanding Chthamalus E. Balanus tumbuh lebih cepat pada temperatur lebih rendah dibanding Chthamalus.
12. Tabel berikut memperlihatkan hasil studi lapangan tentang empat spesies yang membentuk satu rantai makanan di suatu hutan.
38
Tuliskan huruf-huruf dari spesies yang menunjukkan urutan aliran energi dalam rantai makanan yang terbentuk, kemudian hubungkan dengan panah !
13. Gambar berikut ini menunjukkan bagian dari siklus karbon.
Tuliskan nomor-nomor di atas pada kolom yang tepat dalam tabel di bawah ini.
A. Combustion B. Consumption C. Death D. Photosynthesis E. Respiration F. Decomposition
14. Grafik di bawah ini memperlihatkan perubahan faktor-faktor berikut dalam suatu danau selama satu tahun: Jumlah produsen Jumlah konsumen primer Kuantitas nutrien Intensitas cahaya Temperatur
39
I. Kurva mana yang menunjukkan jumlah konsumen primer? II. Kurva mana yang menunjukkan jumlah produsen? III. Kurva mana yang menunjukkan kuantitas nutrien?
15. Transfer energi pada ekosistem terestrial sering digambarkan dengan piramida energi. Manakah pernyataan berikut yang benar ? A. Efisiensi Ekologis tertinggi terdapat pada konsumen puncak B. Sekitar 10 % energi dari satu level tropik dialirkan ke dalam biomasa level tropik berikutnya C. Energi yang hilang sebagai panas atau dalam pernapasan sel adalah 10 % dari energi yang tersedia pada setiap level tropik D Hanya 25 % energi dalam satu level tropik yan dapat diteruskan ke level tropik berikutnya.
40
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, (2008) : Hutan dan Pemanasan Bumi, Makalah disampaikan dalam Seminar “Sosialisasi Pemanfaatan Jasa Lingkungan (Nilai Intrinsik) Sumberdaya Hutan Tingkat Propinsi Jawa Barat, 3 April 2008, Pusat Standardisasi dan Lingkungan, Departemen Kehutanan.
Barbour,M.G. et.all. 1998, Terrestrial Plant ecology, Third Edition, Addison Wesley Longman,Inc. California.
Barkmann, J., Glenk, K., Keil, A., Leemhuis, C., Dietrich, N., Gerold, G., dan Marggraf, R. (2008) : Confronting Unfamiliarity with Ecosystem Functions: The Case for an Ecosystem Service Approach to Environmental Valuation with Stated Preference Methods, Journal of Ecological Economics, 65 (1), 48-62.
Bishop, J.T. (ed.), (1999) : Valuing Forests ;A Review of Methods and Applications in Developing Countries, Environmental Economics Programme, International Institute for Environment and Development (IIED), London.
Boyd, J., dan Banzhaf, S. (2006) : What Are Ecosystem Services? The Need for Standardized Environmental Accounting Units, Discussion Paper, Washington, DC www.rff.org, download pada 3 Februari 2007.
Bradshaw, A.D. (1992) : The Biology of Land Restoration, Applied Population Biology, Kluwer academic Publisher, Dordrecht-Boston-London.
Brown, S. (1997) : Estimating biomass and biomass change of tropical forests: A primer. Forestry paper 134. FAO, Rome, Italy.
Campbell, R.M. 2004, Biologi, Edisi Kelima, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Carroll, N. (2009) : Biodiversity Banking – How market Forces can Promote Conservation, The Katoomba Groups, Ecosystem Marketplace, http://www.ecosystemmarketplace.com/media/pdf/ccb_nc_article.pdf, download pada 24 Juni 2009.
Costanza, R., d’Arge, R., de Groot, R., Farberk, S., Grasso, M., Hannon, B., Limburg, K., Naeem, S., O’Neill, R.V., Paruelo, J., Raskin, R.G., Suttonkk, P., dan Belt, M. (1997) : The value of the world’s ecosystem services and natural capital, Journal of Nature, 38, 253 – 260.
Daily, G.C., Alexander, S., Ehrlich, P.R., dan Tilman, D. (1997) : Ecosystem Services: Benefits Supplied to Human Societis by Natural Ecosystems, Issues in Ecology, 2, Spring 1-16. Ecological Society of America.
41
Danny, W. (2008) : Kebijakan Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan. Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Dan Wisata Alam. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan Dan Konservasi Alam. Departemen Kehutanan.
De Groot, R. S., Wilson, M. A., dan Boumans, R. M. J. (2002) : A typology for the Classification, Description and Valuation of Ecosystem Functions, Goods and Services, Journal of Ecological Economics, 41, 393–408.
De Groot, R.S., de Wit, M., Erica, J., Gaddis, B., Kousky, C., McGhee, W., dan Young, M.D. (2007a) : Making Restoration Work: Financial incentives, 32 (286-293), Environmental Systems Analysis group, Wageningen University, Wageningen . De Groot , R., dan Hein, L. (2007b) : Concept and Valuation of Landscape Functions at Different Scales, Environmental Systems Analysis Group, Wageningen University, Netherlands.
Emerton, L. (2003) : Tropical Forest Valuation: Has It All Been A Futile Exercise, Paper Submitted to the XII World Forestry Congress, Quebec City, Canada.
Fisher, B., Turner, R. K., dan Morling, P. (2009) : Defining and classifying ecosystem services for decision making, Journal of Ecological Economic, 68, 643 – 653.
Hardin, G. 1977, Ethical Implication of Carrying Capacity,
Hobbs, R.J., dan Huenneke, L.F. (1992) : Disturbance, Diversity, and Invasion: Implications for Conservation, Journal of Conservation Biology, 6 (3), 324 – 337.
Hooper, D., Buchmann, N., Degrange, V., Dıaz, S.M., Gessner, M., dan Grime, P. (2002) : Species diversity, functional diversity and ecosystem functioning. In: Biodiversity and Ecosystem Functioning, Oxford University Press, Oxford.
Ibrahim, S. (2008), Farmasi Lingkungan II, Bahan Mata Kuliah Sekolah farmasi ITB, Bandung.
Karr, M. 2003. Mineral Nutrient Depletion in US farm and Range Soils. Wellness Lifestyles, Inc. California.
Kershaw, KA. (1973) : Quantitative an Dynamic Plant Ecology. Second Edition Butter and Tanner, London.
King, D.M. dan Mazzota, M. (2004) : Ecosystem Valuation, Maryland http://www.ecosystemvaluation.org/dollar_based.htm, download pada 19 Desember 2005.
Krebs, J.K. (1985) : Ecology, The Experimental Analysis of Distribution and Abundance, Harper Collins Publisher, New York.
42
Kremen, C. (2005) : Managing ecosystem services: what do we need to know about their ecology?, Journal of Ecology Letters, 8, 468–479.
Lavorel, S. dan Garnier, E. (2002) : Predicting Changes in Community Composition and Ecosystem Functioning from Plant Traits Revisiting the Holy Grail, Journal of Funct. Ecology, 16, 545–556.
Lugo, A.J., dan Waide, R.B. (1993) : Catastrophic and Background Disturbance of Tropical Ecosystems at the Luquillo Experimental Forest, Journal of Biosci, 18 (4), 475-481.
McLaren, J.R. (2006) : Effects of Plant Functional Groups on Vegetation Dynamics and Ecosystem Properties, Journal of Arctic, 59 (4), 449 – 452.
Mueller-Dombois, D., dan Ellenberg, H. (1974) : Aims and Methods of Vegetation Ecology, John Wiley & Sons, New York.
Naeem, S., Chair, F.S., Chapin III, Costanza, R., Paul R., Ehrlich, Golley, F.B., Hooper, D.U., Lawton, J.H., ONeill, R.V., Mooney, H.A., Sala, O.E., Symstad, A.J., dan Tilman, D. (1999) : Biodiversity and Ecosystem Functioning: Maintaining Natural Life Support Processes, Issues in Ecology , 4 , 2 – 19, Ecological Society of America.
Millenium Ecosystem Assessment, (2005) : Ecosystem and Human Well-being: Synthesis, Island Press, Washington DC.
Pagiola, S., Agostini, P., Gobbi, J., de Haan, C., Ibrahim, M., Murgueitio, E., Ramírez, E., Rosales, M., dan Ruíz, J.P., (2004) : Paying for biodiversity conservation services in agricultural landscapes, Environment Department Paper No. 96, Environmental Economics Series, The World Bank Environment Department.
Pitchairamu, C., Muthuchelian, K., Siva, N. (2008) : Floristic Inventory and Quantitative Vegetation Analysis of Tropical Dry Deciduous Forest in Piranmalai Forest, Eastern Ghats, Tamil Nadu, India. Ethnobotanical Leaflets, 12, 204-216
Price, R. (2007) : An introductory guide to valuing ecosystem services, Department for Environment, Food and Rural Affairs, London.
Raymond, C.M., Bryan, B.A., MacDonald D.H., Cast, A., Strathearn, S., Grandgirard, A., dan Kalivasb, T. (2009) : Mapping Community Values for Natural Capital and Ecosystem Services, Journal of Ecological Economics, 68, 1301 – 1315.
Ryan, M.F. (2003) : Forest Biomass and Carbon Stocks, Australia’S State of the Forest Report.
43
Sasmitamihardja, D. dan Siregar, A.H. 1990. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam ITB. Bandung.
Saveland, J. (2003) : Disturbance Processes And Ecosystem Management, USDA Forest Service Forest Fire & Atmospheric Sciences Research, Washington, DC. http://www.fs.fed.us/rm/pubs/saveland/disturbance.html, download pada 29 Desember 2006.
Schlamadinger, B., Bird, D.N., Emmer, I.M., Quijano, J.F.G., Muys, B., dan Somogyi, Z. (2004) : The average carbon-stock approach for small-scale, CDM AR projects, www.joanneum.at/encofor.
Stiling, P.D. 1996. Ecology:Theories and Applications, Second Edition, Prentice Hall International, Inc. New Jersey.
Treweek,J, Therivel, R., Thompson, S., Slater, M., (2005), Principles for The Use of Strategic Environmental Assessment as a Tool for Promoting The Conservation and sustainable Use of Biodiversity, Journal of Environmental Assessment Policy and Management, Vol 7, No. 2, pp. 173 - 199
Viau, E.A., 2004, Carriying Capacity, (http://www/world builders/carrying capacity/EViau CSULA.htm) 19 Mei 2006
Vitousek, P.M., Chair, Aber, J., Howart, R. W., Likens, G. E., Matson, P. A., Schindler, D. W., Schidler, W. H., Schlesinger, W. H., dan Tilman, G. D. (1997) : Human Alteration of the Global Nitrogen Cycle: Causes and Consequences, Issues in Ecology, Journal of Ecologycal Society of America.
Wei, Z.G., Ling, G. Y., dan Ming, L.Y. (2003) : Spatial Pattern of Ecosystem Function and Ecosystem Conservation, Journal of Environmental Management, 32 ( 6), 682- 692.
Whittaker, R. H. dan Likens, G. E. (1975) : The Biosphere of Man. In Primary Productivity of The Biosphere, Springler-Verlag, New York.
Wiharto, M. (2003) : Produktivitas Vegetasi Hutan Hujan Tropis, Makalah Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
0 komentar:
Posting Komentar